Kamis, 08 September 2011

Sebuah Awal dari Langkah Besar


Sebuah tugas yang cukup berat diserahkan kepamongan Medan Utama kepadaku selama liburan Idul Fitri. Saya harus merenungi perjalanan hidup yang akan saya tempuh nantinya. Saya dihadapkan pada suatu pilihan yang cukup berat yang berkaitan langsung dengan masa depan saya antara menjadi imam atau menjadi awam. Memang saya sadari sejak masuk Medan Utama memang saya belum berani/bisa mengambil keputusan dengan tegas dan efeknya pun terasa, saya kurang bisa masuk rutinitas formatio di seminari secara total. Selama ini, saya merasa terus terombang-ambing di dalam ketidakpastian dan saya tidak mau hal itu terjadi terus padaku. Oleh karena itu, liburan kali ini saya mencoba berpikir serius mengenai keputusan yang saya ambil.

Saya sadari hidup adalah sebuah rangkaian proses pemilihan. Sekecil apapun hal yang saya pilih hari ini akan sangat menentukan perjalananku selanjutnya. Segala hal yang saya pilih haruslah sesuai dengan nilai-nilai yang saya anut selama ini. Nilai akan mengantarku pada tujuan hidupku. Sekali saya memilih sebuah pilihan, maka otomatis konsekuensi yang terkandung di dalamnya pun akan mengikuti meskipun di dalam benakku, meskipun saya tidak suka akan konsekuensinya. Konsekuensi itu merupakan resiko yang harus saya ambil demi nilai dan tujuan yang ingin saya capai. Satu kali saya memilih sebuah jalan, saya harus total menjalani segala hal yang menjadi konsekuensinya dan mengikuti segala aturan mainnya. Itulah makna sebuah proses, bukanlah hasil yang membentuk kita melainkan perjalanan kita untuk mencapai hasil itu.
Melihat perkembangan panggilanku selama ini ditambah beberapa masukan yang saya peroleh dari orang tua, saya memutuskan untuk sementara ini tidak melanjutkan diri pada tahap selanjutnya yakni solisitasi. Tidak mengikuti solisitasi ini bukanlah akhir dari sebuah proses perjalanan panggilanku untuk menjadi imam. Saya merasa sampai saat ini saya masih memerlukan waktu untuk berpikir dan mencoba peka terhadap apa yang sebenarnya yang Tuhan kehendaki terhadapku.

Mungkin keputusanku tidak memperlihatkan sebuah ketegasan dalam menentukan apakah saya ingin jadi imam atau awam. Namun, saya merasa itulah jalan yang terbaik. Saya merasa saat ini terlalu dini untuk memutuskan sebuah perjalanan hidup yang akan saya jalani seumur hidupku karena saya sadari saya masih berada di dalam masa remaja, masa di mana segala hal yang ada di dalam diriku belum stabil. Saya tidak ingin memaksakan diriku untuk memilih apa yang sampai saat ini masih terlihat samar-samar. Saya tidak mau menjadi frater yang berhenti di tengah perjalanan proses formatio panggilannya karena pada dasarnya ia tidak begitu yakin terhadap pilihannya. Bagiku, perjalanan hidup mungkin masih panjang dan hal yang sangat penting seperti ini tidak perlu dilakukan secara terburu-buru. Dibutuhkan permenungan yang mendalam agar saya dapat memilih hal yang terbaik.

Selain itu, di dalam idealisku, saya ingin menimba ilmu di luar dulu dengan berkuliah di Arsitektur sekaligus melihat dinamika hidup umat yang sesungguhnya. Saya pikir itu akan menjadi sebuah modal yang sangat baik jika nanti saya menjadi imam. Saya mempunyai sebuah cita-cita bila saya menjadi imam saya harus punya nilai lebih dibandingkan imam-imam lain. Saya tidak mau menjadi imam yang hanya sekedar sibuk mengurusi liturgi atau pun misa saja, tanpa bisa membaca realita yang terjadi di umat dan masyarakat. Gambaran imam itu saya lihat dari pribadi Yesus sendiri yang tidak menginginkan seseorang hanya jatuh pada kulit luar sebuah agama tanpa mengerti kedalaman yang sesungguhnya.

Meskipun saya akan berada di luar formatio, saya akan terus membuka diri saya terhadap panggilan Tuhan karena itulah salah satu hal yang bisa saya lakukan sebagai bentuk ungkapan syukur atas segala kebaikan-Nya. Paling tidak, saya harus selalu memegang pedoman bahwa apa yang saya lakukan haruslah demi kemuliaan Tuhan.

Seminari telah memberikan banyak hal mengenai kehidupan. Mungkin, apa yang saya pilih ini tidak seusai dengan kehendak para formator di seminari, tapi saya akan tetap berusaha menjadi manusia yang berkualitas. Terus terang, saya sendiri belum puas dengan apa yang saya pilih sekarang. Namun, saya yakin pada saatnya nanti, saya dapat memilih secara tepat. Maka, untuk mencapai hal itu, saya ingin terus didampingi oleh formator selama saya masih berada di seminari

Seperti seekor lebah pekerja, saya harus senantiasa produktif dan bersemangat. Meskipun pilihan yang saya ambil ini sulit, saya akan tetap berusaha melakukan apa yang terbaik. Saya harus selalu belajar mengolah hidup dengan berefleksi. Dengan begitu, saya akan peka merasakan panggilan Tuhan. Semoga pilihan ini menjadi awal yang baik bagiku dan Tuhan selalu menyertai kita semua.
Mertoyudan, 15 Oktober 2007

REFORMATIO VITAE

Tuhan bagaikan Tukang Bejana yang sedang membentuk diriku
Apabila bejana yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangan-Nya itu rusak
Maka, Tukang Bejana itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain
Menurut apa yang baik pada Pandangan-Nya

SIAPKAH AKU DIBENTUK-NYA?!

MENIMBA INSPIRASI DI LERENG MERAPI



Sebuah Refleksi Singkat Live in, 22-27 September 2007



Sebuah Kejutan Awal
Banyak insipirasi yang dapat saya petik selama live in di Sanggar seni Mas Ismanto. Dalam Imajinasiku sebelum berangkat, sanggar seni itu adalah sebuah galeri seni yang besar dan mewah seperti sanggar seni seniman lain yang saya pernah datangi seperti galeri Affandi di Yogyakarta. Hal itu berawal karena saya menganggap Mas Ismanto adalah seorang seniman multi talent yang hebat. Gambaran ini semakin dikuatkan ketika kami dijemput di Perempatan Tlatar. Deru motor gede meledak-ledak sudah terdengar dari jauh dengan dikemudikan seorang yang cukup gemuk dengan rambut keriting yang diikat. “Gila…, keren banget ini orang!” kataku dalam hati. Mas Ismanto menjemput kami diiringi dua motor yang dikemudikan oleh para anak buahnya. Selama perjalanan, kami benar-benar merasakan bagaimana alam pedesaan yang asri dengan sawah dan kebun terhampar luas di kaki Merapi.
Ketika sampai di rumahnya, saya bersama Arista, Jethro, Hario Kristo, kaget karena kenyataanya, rumahnya tidak seperti gambaran yang ada di otak kami. Rumah berupa gubug dengan dinding gedhek dan lantai beralaskan tanah menyambut kedatangan kami. Buku-buku tersusun secara rapi di dalam lesung (aneh khan, tapi menurutku kreatif banget). Berbagai patung dan lukisan ada rasanya memenuhi ruang dengan lincak sebagai tempat kongkow-kongkow di depat TV. Salah satu patung yang menarik adalah patung kepala Budha yang bolong wajahnya. Patung ini merupakan bagian dari karya yang memenangkan juara pertama lomba seni rupa UNESCO. Patung lain yang kelihatannya cukup nyleneh adalah patung “Rahim”. Patung ini berupa batu kotak dengan lubang di dalamnya yang berbentuk Maria. Kata Mas Ismanto, patung ini adalah patung termahal yang pernah dibuatnya dengan tawaran senilai Rp.108.000.000,00 dan sampai sekarang belum mau dilepasnya.
Di awal live in, ia memberikan kebebasan kepada kami untuk memperdalam hal yang kami inginkan mulai dari belajar melukis, teater, membuat patung, cetak fiber, dan mengolah sampah. Namun, pada intinya, kami diharapkan untuk bisa belajar menerima orang dengan senyuman dan belajar berpikir secara kreatif.

Menggali Makna Mendalam dari Kesederhanaan

Aneh & konyol…, patung sederhana seperti itu bisa ditawar seharga itu. Saya pikir gila orang yang mau menawar dengan nilai setinggi itu. Namun, saya akhirnya mengerti, di dalam bentuk yang sederhana itu terkandung makna yang sangat dalam. Ya…, rahim adalah sumber kehidupan dan karya itu menggambarkan relasi manusia dengan penciptanya. Meskipun ia belum pernah mengenal seminari, tapi menurutku, Mas Ismanto adalah orang yang reflektif dan mampu memberikan nilai spiritual melalui setiap karyanya agar manusia selalu bermenung. Jadi, karya itu bernilai tinggi bukan hanya karena bentuknya, tetapi kedalaman makna yang ada di dalamnya.
Meskipun dengan kemampuannya ia dapat menghasilkan uang yang banyak, rasanya Mas Ismanto adalah orang yang bersahaja. Kekayaan harta tidak begitu ditonjolkan tetapi kekayaan refleksi terlihat sekali di dalam rumah dan karyanya.
Lukisan-lukisan dengan gambar telanjang baik di dinding maupun di buku-bukunya mengubah paradigmaku mengenai tubuh. Selama ini bila saya melihat ketelanjangan pikiranku langsung ke arah negatif. Di rumah Ismanto, paradigmaku berubah. Tubuh yang telanjang sangat memiliki makna yang mendalam dan salah satu yang saya bisa petik adalah pada dasarnya kita ini adalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan. Ketelanjangan bermakna sikap pasrah kepada Tuhan dengan segala keterbukaan dan kesederhanaan sebagai manusia.

Kedalaman Spiritual, Berawal dari Kepekaan

Berpikir kreatif, itu kata kunci yang bisa saya tangkap selama live in ini. Hal yang sangat sederhana dan ada di sekitar kita memiliki potensi yang bisa kita eksplorasi secara lebih dalam. Dengan “minyak jayakaton”, yakni keterbukaan paradigma dalam memandang sesuatu, kita bisa menimba banyak hal dari setiap benda. Untuk menjadi kreatif, dibutuhkan kepekaan melihat tanda-tanda. Salah satu contohnya adalah selembar daun Jati. Selama ini kita terfokus daun jati hanya berguna sebagai bungkus makanan. Fokus inilah yang membuat orang berpikiran sempit dan tidak mampu melihat hal yang terkandung di dalamnya. Padahal, dengan hanya daun jati, orang dapat mendongeng. Dengan daun jati pula dapat dibuat karya seni bernilai tinggi seperti patung. Mas Ismanto memberikan inspirasi pada sutradara Garin Nugroho mengenai kedalaman spiritual selembar daun jati dan dihasilkan sebuah film dengan Mas Ismanto sebagai bintangnya. Film ini baru beredar di luar negeri dan mungkin baru tahun depan akan hadir di Indonesia.
Seharusnya, hal inilah yang mendasari saya dalam berefleksi. Peristiwa kejadian yang sepele dapat diambil makna yang mendalam jika kita peka dan berani melihat sebuah peristiwa dari berbagai aspek dan cara pandang. Dari hal ini saya akan bisa memaknai hari-hariku secara mendalam dan memperoleh madu-madu yang bisa saya petik. Saya harus mencoba Duc in Altum, menyelami secara lebih dalam kehidupan ini agar saya bisa merasakan betapa baiknya Tuhan berkarya di dalam hidup ini. Dengan merasakan kebaikan-Nya, saya bisa bersyukur dan berkarya dengan semangat.

Memaknai Sebuah Proses untuk Merasakan Perjuangan

Melihat anak buahnya bekerja, saya melihat sebuah karya itu ada melalui sebuah proses panjang. Selama ini saya hanya memandang sesuatu pada hasil akhirnya tanpa memandang perjalanan bagaimana hasil harya itu bisa tercipta. Sebuah patung batu jadi berasal dari sebongkah batu yang bentuknya tidak karuan. Awalnya dibentuk modelnya berupa sketsa atau patung berukuran kecil. Ingat…, sebuah lekukan patung sekecil apapun sebuah patung berasal dari patahan serpihan batu yang kecil-kecil. Sedikit demi sedikit batu itu di cungkil dengan pahat, dihaluskan dengan batu halus serta amplas dan akhirnya menjadi patung. Proses panjang itulah yang menjadikan sebuah karya bernilai tinggi. Memaknai sebuah proses adalah hal yang sangat sulit bagiku. Selama ini saya hanya terpaku pada hasil, jika saya gagal saya jatuh pada kekecewaan yang dalam. Padahal, saya yakin seseorang itu dibentuk melalui setiap proses yang dilaluinya bukan dari hasil yang diperolehnya.
Bila kita melihat kesuksesan mas Ismanto sekarang, mungkin tidak ada yang menduga Mas Ismanto hanyalah lulusan SMP. Lulus SMP ia merantau ke Jakarta dan menjadi pembantu rumah tangga. Meskipun begitu ia tidak mau jatuh dan menyerah pada nasib karena ia sadar seseoranglah yang menentukan nasibnya. Dengan modal kursus pahat di Bali selama tiga bulan, ia mengembangkan kemampuannya secara otodidak sehingga mampu sukses seperti ini. Saya meyakini hal ini adalah buah dari ketekunan yang telah dilalui Mas Ismanto. Inilah perjuangan Mas Ismanto yang bisa saya ambil pelajarannya.

Jadilah Orang yang Berkualitas

Meskipun ia tinggal di pedalaman Merapi bukan ditempat strategis, ia percaya bahwa emas pasti akan berkilauan sekalipun berada di tempat terpencil dan dengan kilaunya itu, orang-orang akan berusaha menemukan emas yang ada. Kualitas karyalah yang membuat orang rela bersusah payah ke lereng merapi untuk bisa mendapatkan karya yang bagus. Menjadi orang yang berkualitas, kata yang kelihatannya gampang dikerjakan. Namun, menjadi sulit jika dikerjakan. Kualitas kerja dinilai oleh orang lain tetapi dapat dikembangkan oleh diri sendiri. Unsur yang terkandung di dalamnya adalah tanggung jawab dan ketekunan.
Saya harus memiliki nilai lebih dari manusia yang lain karena kualitas dapat dilihat dari hal itu. Meskipun ukuran pasti pribadi berkualitas tidak dapat ditentukan secara pasti tetapi kualitas itu dapat dirasakan. Kita dapat menilai kualitas diri melalui refleksi. Refleksi adalah pantulan diri kita yang nampak dalam perilaku sehari-hari. Meskipun tidak ada seorangpun yang sempurna di dunia, tapi saya yakin saya bisa berjuang terus mencapai kesempurnaan.

Lihatlah Masalahnya Secara Lebih Dalam

Dinamika kehidupan rumah tangga bisa saya amati dan dengar dari Mas Ismanto sendiri. Ternyata, hidup berkeluarga pun memiliki banyak suka duka mulai dari cemburu sampai kecurigaan akan selingkuh. Dengan terbukanya, Mas Ismanto mengungkapkan segala unek-unek mengenai keluarga. Bagiku, rasanya sangat aneh jika ada orang yang mau membuka masalah di dalam keluarganya karena bisa saja kami menceritakan pada orang lain dan timbul gosip lain yang bisa saja memperburuk keadaan. Menurutku, keterbukaan itu memperlihatkan Mas Ismanto sudah mampu mengolah semua masalahnya secara baik sehingga ia mampu terbuka. Kelihatannya, masalah yang ada tidak dijadikan beban tetapi menjadi bahan pelajaran untuk modal hidupnya. Inilah cara pandang yang bagiku baru karena selama ini saya merasa masalah yang ada kadang terasa sangat membebaniku. Pikiranku sudah seharusnya terbuka setelah live in ini, saya tidak boleh hanya terfokus pada masalahnya tetapi mencoba terus mendalami masalahnya untuk mendapatkan penyelesaiannya. Terlalu fokus pada masalah menyebabkan orang tertutup pada kemungkinan yang ada dan hanya berputar-putar terus meratapi masalah yang ada.
Programlah Dirimu dan Jangan Ragu Berkomunikasi

Setiap kali ia membuat patung, Mas Ismanto selalu membuat semacam briefing agar terbentuk pola kerja yang sistematis dan efektif. Masing-masing pekerja mendapatkan bagian kerjanya sendiri. Dengan memprogram kerja karyanya ini, masing-masing orang dapat dengan jelas mengetahui tujuan kerja yang harus dicapainya.
Meskipun dalam keseharianku saya juga sering memprogram hidupku, namun hal yang masih menjadi hambatanku adalah kemampuanku untuk membuat prioritas masih belum terlalu baik. Kalaupun programnya sudah baik, kadang saya pun dihadapkan pada rasa malas dan kurang peduli dengan apa yang menjadi tanggung jawabku. Kebiasaan menunda adalah salah satu mengapa kadang program hidupku kurang berjalan dengan baik. Mungkin, program yang saya buat selama ini kurang saya singkronkan dengan tujuan hidupku yang harus saya capai sehingga greget kerja belum terasa. Dengan mengingat tujuan, orang akan menjadi terpacu dan bersemangat untuk berkarya.
Dari sheringnya, Mas Ismanto mengaku mengalami hambatan dalam setiap karyanya. Meskipun di dalam tim kerjanya cukup solid dan memiliki keahlian yang cukup, kadang ada masalah miskomunikasi di antara mereka. Kesalahan sekecil apapun yang terjadi di dalam sebuah karya akan nampak bila kita jeli dan teliti.Komunikasi mutlak diperlukan dalam satu tim kerja. Dari pengalamannya, Mas Ismanto kadang kesal karena terjadi kesalahan-kesalahan hanya karena kurang terjalinnya komunikasi. Bila terjadi kesalahan, otomatis kesalahan itu harus diperbaiki. Mas Ismanto merasa kesalahan yang ada merugikan banyak hal antara lain waktu dan uang upah kerja.
Komunikasi…, kadang adalah hal yang sulit bagiku. Kadang, saya memaksakan sesuatu hanya dari kehendak saya. Dan bila diberi tahu, kadang saya jadi mutung dan malas mengerjakan sehingga hasil yang dicapai kurang maksimal. Kemampuanku untuk menjadi pedengar yang baik rasanya jauh dari baik. Saya merasa lebih mendahulukan mood dari pada kerjasama yang terjalin.Kerapkali juga, saya sungkan untuk bertanya karena saya sudah merasa mampu. Padahal, komunikasi itu penting agar segala sesuatu dapat terjadi sesuai dengan rencana. Ada baiknya saya lebih rendah hari dan mau belajar berkomunikasi.

Imam, Harus Peduli dan Produktif

Dalam suatu kesempatan, kami berjumpa dengan Rm.Kirjito, Pastor Paroki Sumber. Di sana kami berdiskusi mengenai banyak hal. Rm Kirjito adalah pribadi yang menarik bagiku. Meskipun ia berkarya di tempat yang terpencil, namun kekritisannya tidak menjadi tumpul.
Kebetulan saya diajak ke salah satu tempat penambangan pasir. Sebuah lubang raksasa terbentuk dibukit akibat penambangan sedalam 40 meter. Menurut Rm. Kirjito, penambangan ini adalah sebuah sistem pembodohan masyarakat secara sistematis. Memang upah menambang pasir itu cukup besar, namun tidak setiap hari mereka bekerja menambang karena harus bergiliran dengan desa-desa lain Saya mendengar bagaimana perjuangannya menghentikan penambangan pasir di lereng Merapi yang menurutnya lebih banyak merugikan masyarakat. Mata air yang ada sedikit demi sedikit mati, rusaknya lingkungan merapi, hilangnya niali lokal masyarakat, dan jalan rusak berlubang akibat aktivitas penambangan ini. Keuntungan yang besar hanya dinikmati oleh para pemodal yang tinggal di kota tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.
Dari pribadinya, saya dapat belajar bahwa karya seorang imam tidak hanya sekedar sibuk mengurusi liturgi tapi juga harus bisa memberi kontribusi pada masyarakat. Kepeduliannya mencoba menyadarkan masyarakat Merapi akan bahaya penambangan memperlihatkan ia adalah seorang yang produktif bagi masyarakat.
Meskipun untuk sementara ini saya masih merenungi perjalanan hidup panggilan saya nantinya, melihat dari kenyataan itu saya menjadi tertantang untuk menjadi imam yang produktif.

Penutup, Awal yang Baik untuk Bergerak

Banyak hal yang saya bisa petik dari live in ini dan saya yakin masih ada banyak hal yang bisa saya olah dari perjalanan hidupku selama live ini.Dari Mas Ismantolah saya bisa belajar memaknai hidup secara beda dan mengajak saya untuk bisa berpikir secara kreatif sehingga bisa menghasilkan inovasi. Saya merasa dijungkirbalikkan selama live in ini karena banyak sekali hal baru dan paradigma yang bisa saya sadari bahwa paradigma itu kurang begitu tepat.
Saya merasa klop dengan pribadi Mas Ismanto dan Rm. Kirjito karena saya kembali disadarkan bawa saya haruslah menjadi diri sendiri. Semoga live in ini bisa menjadi awal yang baik untuk bergerak menuju ke kehidupan yang lebihbaik dan segala hal yang saya dapatkan bisa terus terbatinkan dalm diriku. Amen. Deo Gratias…!

KETIKA BLACK TIDAK LAGI HITAM

Judul film :Black

Tahun rilis :2005

Produksi :India

Sutradara :Bhansali

Remaja-remaja sekarang boleh jadi menganggap film-film Bollywood itu cupu. Kebanyakan film-film India dikenal dengan kisah cintanya yang monoton dengna bumbu konflik yang terasa dilebih-lebihkan . Selain itu, bagai makan sayur tanpa garam, rasanya kurang afdol jika kita tidak melihat tari-tarian yang aduhai di dalam film Bollywood. Namun, film Black adalah pengecualian. Kesan yang sudah terlanjur menempel pada citra film India seperti diungkap di atas sama sekali tidak ditemukan di dalam film ini.

Film yang digarap oleh Bhansali, sutradara muda dari India ini dikemas secara baik dan terasa berkualitas. Dalam Majalah Time, film Black ini dianggap masuk ke dalam jajaran film terbaik sepanjang tahun 2005, sekasta dengan film berkualitas lainnya seperti Memoir of Geisha, karya Richard Corliss. Dengan refleksi mendalam, film ini mengantar orang yang menontonnya untuk menemukan berbagai makna kehidupan khususnya makna belajar yang sesungguhnya.

Hakikat belajar adalah sebuah proses transformasi. Peralihan dari tidak tahu menjadi tahu dalam proses belajar ditampilkan secara implisit dalam film ini. Michelle, seorang gadis yang terlahir buta dan tuli menjadi sebuah simbol orang yang mengalami proses transformasi ini. Tanpa proses belajar, manusia tidak lebih dari orang yang buta dan tuli seperti Michelle.

Segala rangsangan dari luar tidak mampu ditangkap dan akhinya hanya mengungkung dirinya dalam dunianya sendiri. Karena tidak dimengerti hal yang terjadi di luar tubuh, segala rangsangan dari luar hanya dianggap sebagai ancaman. Usaha Michelle untuk menghindari ancaman dan berusaha mempertahnkan diri dalam dunianya sendiri membuat orang yang melihat menggap Michelle gila. Hal itu terjadi karena orang lain pun tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada Michelle.

Proses belajar seakan memberi orang mata dan telinga sehingga menjadi sebuah jembatan yang mampu mengantarkan orang untuk peka penerima dan menangapi rangsangan dari luar secara baik. Dengan belajar, Michelle mengalami proses perubahan total. Ia merasakan dirinya bertranseden jauh melampaui apa yang ia sendiri bayangkan berdasarkan berbagai kelemahannya. Ia akhirnya dapat menjadi manusia seutuhnya dan tidak dianggap gila lagi. Halyang hanya menjadi impian semata seperti kuliah dan lulus seperti manusia normal lainnya dapat diwujudkan oleh Michelle berkat usaha kerasnya meskipun secara fisik dia terbatas.

Dalam proses belajar itu, Michelle didampingi seorang guru. Debraj Sarai adalah gambaran seorang guru ideal yang diberikan film ini. Guru ideal adalah guru yang senantiasa berusaha menggali potensi

Yang ada di dalam anak didiknya meskipun harus mengorbankan banyak hal. Sebagai guru, dia benar-benar total mengajar bukan karena iming-iming kesejahteraan tetapi karena kesadarannya mengenai makna pengabdian. Guru adalah pelita bagi para muridnya. Ia memberi pencerahan dan harapan baru meskipun ia sendiri harus menderita. Meski sulit, Debraj berjuang sekuat tenaga untuk mengantarkan Michelleaga r menjadi lebih manusiawi sehigga ia tidak diperlakukan sebagai orang gila atau binatang lagi. Ia yakin di dunia ini pada dasarnya tidak ada yang mustahil. Semua hal dapat terjadi bahkan di saat-saat tanpa harapan sekalipun karena ia sadar segalanya ada di dalam genggaman-Nya. Ia percaya keajaiban akan selalu ada dan terbentuk dari perpaduan antara harapan dan usaha keras.

Debraj Sarai menyadari bahwa belajar itu adalah sebuah proses. Sebuah proses tidak menuntut seseorang mencapai tingkat tertentu dalam belajar. Ukuran pencapaian belajar yang sesungguhnya bukanlah hasil belajar melainkan bagaimana seseorang mampu menggali makna dalam proses yang dilewatinya. Sebagai sebuah proses, setiap langkah haruslah dinikmati. Ya.., nikmatilah setiap proses itu layaknya menikmati es krim, nikmatilah es krim itu sebelum es krim itu mencair.

Kegagalan tidak dianggap sebagai hambatan dalam belajar. Meskipun Michelle berkali-kali gagal lulus ujian universitasnya, debraj sama sekalit diak menggap bahwa Michelle bodoh. Justru sebaliknya, ia terus mendorong anak didiknya untuk berjuang lebih keras lagi. Ia sadar bahwa pengalaman jatuh yang dialami Michelle adalah pengalaman yang berharga dan justru menguatkan. Hal itu akan membuat Michelle dapat terbang lebih tinggi. Non scholae sed vitae discimus., hasil belajar yang sesungguhnya adalah bagaimana seseorang menjadikan apa yang dipelajarinya menjadi modal bagi kehidupannya. Ia berharap Michelle tidak selu bergantung pada dirinya tetapi dapt mandiri karena itulah tujuan dari belajar yang sebenarnya.

Sebuah makna profesionalitas pun disisipkan dalam film ini. Ketika adik Michelle melangsungkan pernikahan, Michelle menyadari bahwa hidupnya terasa kurang tanpa adanya cinta. Ia mencintai Debraj tetapi Debraj sadar ia mencintai dan memperhatikan Michelle selama ini dalam konteks dirinya sebagai guru. Kisah cinta yang diberikan dalam film ini terkesan elegan karena cinta tidak dilihat secara dangkal sehingga film ini tidak jatuh pada cinta picisan yang begitu diumbar dalam film-film lainnya.

Selain itu, film ini memberikan inspirasi bahwa dalam hidup, setiap orang adalah murid sekaligus guru. Hidup ini adalah proses saling transfer ilmu. Di satu sisi kita dituntut untuk menjadi seorang guru yang selalu membagikan ilmunya. Di sisi lain juga dituntut untuk menjadi murid yang tidak akan pernah haus belajar. Pada awalnya Debraj lah yang mengajari Michelle banyak hal. Keadaan itu berubah ketika Debraj mengalami penyakit Alzeimer yang membuatnya kehilangan semua ingatan. Kini, keadaan berbalik 180 derajat, Michelle menjadi guru bagi Debraj dalam mengembalikan ingatannya.

Film ini memiliki kekuatan pada jalan ceritanya. Meskipun kisah yang ditampilkan adalah kisah yang sederhana, tapi film ini mmapu mmeberi kesan mendalam bagi orang yang menontonnya. Kelebihan lainnya, film ini sukses menempatkan camera angle yang sesuai sehingga menghasilkan efek visual yang terkesan dramatis dan mempesona, membuat orang betah bertahan sekitar dua jam menikmati jalannya film ini. Sutradara jeli mengekplorasi hal-hal keicl dan menjadikannya sebuah kekayaan yang bisa dinikmati dalam film ini.

Menikmati film ini serasa menonton suguhan cerdas yang nyata dalam dialog. Salah satu kesan cerdas itu terlihat dari jawaban Michelle ketika diuji untuk masuk Universitas,”Bila Amerika Serikat ada di utara, dimana letak India?, Jawab Michelle dalam bahasa isyarat,”bumi itu berbentuk bulat, oleh karena itu, India bisa terletak dimana-mana.” jawaban ini seakan menyentak dan menyadarkan bahwa kita tidak boleh hanya terpaku pada jawaban yang telah baku. Justru dengan berpikir berbedalah, dunia ini terus berkembang. Percakapan lain yang terasa mengena adalah ketika Michelle mengatakan bahwa hitam yang selalu dilihatnya sebagai orang buta bukanlah sebuah lambang kegelapan dan kesuraman, melainkan sebuah harapan . Harapan itu terpancar seperti sebuah lilin menyala dan menyinari setiap hati manusia yang merasa terbatas oleh kelemahan-kelemahan. Kita di ajak untuk Duc in altum, melihat segalnya secara lebih dalam melalui film ini.

Karena begitu banyak kedalaman yang dikandung dalam film ini, film ini menjadi sangat aik sebagai sebuah bahan refleksi khususnya dunia pendididkan di Indonesia yang carut marut ini. Dengan film ini, kita disadari bahwa pendidikan memiliki makna yang jauh lebih agung daripada hanya sekedar nilai di atas kertas. Belajar adalah sebuah proses untuk hidup yang lebih baik..

Sebuah Nadi Kehidupan Kota yang Terlupakan

Sungai Cikapundung adalah salah satu sungai yang mengalir melintasi kota Bandung. Jika ditilik secara lebih dalam, sungai ini memiliki nilai historis yang tinggi karena di sekitar daerah inilah titik nol kota Bandung ditancapkan oleh gubernur Jendral Daendels ketika pembangunan jalan raya Pos sedang dilakukan dari Anyer sampai Panarukan. Ia ingin ketika ia kembali ke tempat tersebut, ia ingin menjumpai sebuah kota telah berdiri di atasnya.
Seperti kota-kota lain di dunia, peran sebuah sungai amat penting bagi kehidupan di dalamnya, tidak terkecuali kota Bandung. Pada awalnya, sungai ini merupakan salah satu penopang kehidupan kota mulai dari sumber air minum sampai transportasi. Namun kini kondisi itu sama sekali berubah. Keadaan eksisting Sungai Cikapundung kini amat memprihatinkan . Layaknya sebuah kehidupan, bisa dikatakan sungai ini sedang sakit bahkan kritis.
Masalah masalah mulai dari pendangkalan sungai akibat rusaknya lingkungan di hulu yang mengakibatkan erosi serta sampah yang memenuhi hampir di sepanjang sungai. Bau tidak sedap dan warna sungai yang tidak lagi jernih akibat pencemaran baik rumah tangga maupun industry sedikit banyak menyiratkan bahwa terjadi pergeseran makna sungai dari penopang kehidupan kota menjadi sebuah septic tank massal kota . Bentang sungai ini pun dirasa semakin menyusut akibat semakin bermunculannya pemukiman kumuh yang tumbuh subur di kanan kiri sungai.
Ketidak pedulian masyarakat disertai kurang tegasnya pemerintah melaksanakan peraturan mengenai pengendalian mutu lingkungan menjadi sebuah mata rantai penting proses perusakan sungai tersebut. Kondisi sungai yang seharusnya amat kaya akan biota kehidupan hewan dan tumbuhan haruslah hilang secara perlahan akibat ketidakmampuan manusia menciptakan sebuah lingkungan binaan yang baik.
Sebetulnya, keadaan ini masih bisa di perbaiki asalkan ada kemauan dari semua pihak. Sungai ini memiliki potensi yang amat besar untuk dikembangkan lebih jauh misalkan saja sebagai daya tarik wisata sekaligus penelitian.
Sungai yang membelah kota Bandung ini melewati beberapa titik penting kota mulai dari wilayah lembah cikapundung di sekitar Babakan siliwangi, jembatan pasupati, cihampelas, jalan asia afrika, dan viaduct. Sungai ini bisa menjadi semacam penghubung titik titik sekaligus sebuah poros kota sehingga dapat terintegrasi menjadi sebuah wisata kota yang amat menarik.
Cara pertama yang bisa dilakukan adalah pembenahan lingkungan sekitar sungai, seperti menegakkan aturan mengenai daerah aliran sungai. Fungsi sungai ini hendaknya dikembalikan sebagai daerah hijau yang berfungsi untuk memberi kesempatan berbagai kehidupan hewan dan tumbuhan asli kota dapat hidup, wilayah peresapan air, area paru-paru kota, sekaligus sebagai ruang terbuka public dimana warga kota dapat beraktivitas di sana seperti berolah raga, jalan-jalan, bersantai dll. Berbagai bangunan yang telah berdiri di kanan kiri sungai hendaknya di relokasi dengan cara-cara yang manusiawi agar tidak menimbulkan masalah sosial kemudian hari seperti efek penggusuran penggusuran di berbagai tempat dan menjadikan area ini sebagai taman kota.
Agar dapat menciptakan daerah sungai ini sebagai koridor hijau yang sehat, pemerintah diharapkan mendorong warga agar tidak membuang sampah dan limbah ke dalam sungai karena bagaimanapun sungai adalah bukan tempat pembuangan riool kota. Agar sungai ini tidak lagi tercemar, sangat diharapkan pemerintah mulai membangun sarana pengolahan limbah. Dengan begitu diharapkan air sungai tidak tercemar oleh limbah cair rumah tangga dan industry.
Agar memungkinkan terjadinya sebuah aktivitas di sekitar sungai ini, taman kota ini hendaknya dilengkapi dengan berbagai sarana seperti area jogging track, jalur sepeda, wc umum, kursi-kursi, tempat sampah, gazebo. Bahkan bila serius, di sekitar area ini dapat dikembangkan untuk area pengembangan seni misalnya mendirikan pondok-pondok seni dan mini ampliteatrum agar industry kreatif di kota ini makin maju. Dengan begitu fungsi area ini menjadi wilayah hijau yang hidup dan memungkinkan berbagai interaksi terwadahi di dalamnya.
Agar pendangkalan sungai akibat faktor tingginya erosi di hulu, hendaknya pemerintah dan masyarakat bahu-membahu menjaga lingkungan hulu sungai agar tetap terjaga misalnya menjadikan area hulu menjadi area konservasi dengan aturan yang tegas.
Poin lain yang juga penting adalah mengatur ulang orientasi bangunan di sekitar sungai agar bangunan yang ada tidak lagi membelakangi sungai tetapi justru sebaliknya menjadikan sungai sebagai muka bangunan sehingga setiap bangunan dapat merespon sungai ini secara positif sekaligus mengangkat kembali makna sungai ini ke tempat yang lebih baik.
Pengendalian lingkungan sungai cikapundung hendaknya terus dilakukan agar wajah kota tidak lagi angkuh terhadap alam tapi justru sebaliknya mengambil kekayaan yang ada dari alam menjadi elemen yang tidak terpisahkan dari sebuah kota. Dengan begitu, terciptalah sebuah kota yang amat menghargai konteks lingkungan setempat dan menegaskan bahwa suatu lingkungan binaan manusia dapat berjalan beriringan bersama alam.

MINYAK JAYAKATON


Sebuah Usaha Menggali Refleksi dalam Memaknai Kedalaman Cinta Tanah Air

Padamu negeri, kami berbakti

Padamu negeri, kami mengabdi

Padamu negeri, kami berjanji

Bagimu negeri, jiwa raga kami

Siapa tidak kenal lagu diatas? Mungkin, hampir sebagian besar orang Indonesia sudah hafal dan fasih menyanyikan lagu Padamu Negeri sejak kita sedang asyik-asyiknya bermain di bangku TK atau SD. Lagunya begitu singkat dengan nada sederhana yang berulang. Tapi, apakah setiap orang yang menyanyikannya turut menghayati sekaligus memahami setiap baris kata yang dirangkai oleh Kusbini ini? Mungkin jawabannya menjadi sangat relatif. Pada kenyataanya, segala hal yang sudah dianggap menjadi hal biasa dan dilakukan berulang ulang bagi manusia secara tidak sadar membentuk orang pada sifat otomatisasi.

Otomatisasi ini adalah kemampuan otak manusia untuk memudahkan segala hal tanpa perlu kendali yang lebih lanjut. Bisa jadi, kemampuan ini berefek boomerang bagi manusia di balik keuntungan yang didapatnya. Doa yang dilantunkan berulang-ulang, bisa jadi menenggelamkan orang pada sebuah kedangkalan doa yang mengakibatkan kekeringan rohani. Doa hanya sekadar lafalan suci tanpa arti karena sebatas diucapkan dimulut tanpa dimengerti makna yang terkandung di dalamnya. Hal itu sering terjadi pada saya, ketika saya berdoa misalnya doa bapa kami, tanpa saya sadar mulut mengucap dan ketika diakhir mengucapkan amin, saya merasa tidak mendapatkan apa-apa. Doa itu hanya sekedar lewat. Bisa jadi lagu yang sarat makna di atas bernasib sama dengan sebuah doa yang menjadi tanpa makna akibat dianggap hal biasa.

Lagu di atas tercipta berlandaskan rasa kecintaan begitu besar dan mendalam kepada negerinya. Bila kita menyusuri jejak teks yang ada, melalu kecintaan itu, mendorong orang untuk berbakti, mengabdi, bahkan berjanji memberikan jiwa raga bagi negerinya. Cinta mendorong orang untuk hidup jauh lebih hidup dan menggelorakan semangatnya untuk mempersembahkan hal yang terbaik yang dimilikinya.

Dalam konteks masa menjelang pemilihan presiden ini, banyak warga negeri ini menaruh sedemikian besar harapan pada calon-calon presiden yang bertarung. Begitu antusias dan fanatiknya, bahkan orang rela melakukan apa saja demi “idola”nya tersebut. Seakan-akan jika kandidatnya terpilih menjadi presiden, segala harapan yang digantungkan itu akan serta merta terwujud. Padahal, belum tentu segala janji yang digembar-gemborkan dalam masa kampanye akan diwujudkan dan sekedar menguap seiring berlalunya masa kampanye. Menggantungkan harapan pada calon pemimpin sama saja menggantungkan diri kita pada ketidakpastian. Ketidakpastian yang terlarut dalam sebuah eforia massa.

Lihat saja, lebih dari 64 tahun Indonesia merdeka, Negeri ini masih tetap berkutat di dalam lautan kemiskinan. Tidak perlu merujuk pada data-data statistic BPS yang njelimet tidak karuan dan sama sekali tidak mudah dimengerti kaum awam, cukuplah melihat keadaan sekeliling lingkungan sekitar kita. Masih banyak orang yang hidup menggelandang, mengemis, atau mengamen di tepi-tepi persimpangan jalan. Yang setiap harinya harap-harap cemas menanti seperser uang demi sesuap nasi dan harus bermain kucing-kucingan dengan satpol PP yang siap menangkap tak beda dengan polisi menangkap seorang penjahat tanpa menyadari bahwa mereka juga adalah manusia.

Bagiku, mereka adalah korban dari sebuah sistem ketidakadilan yang masih berlaku dari zaman kolonialisme hingga sekarang. dan diterapkan oleh sesama anak bangsa sendiri. Sebuah sistem yang mendorong berlakunya mekanisme pemiskinan secara struktural. Hal itu nampak nyata dari semakin mahalnya biaya sekolah yang tidak memungkinkan orang miskin turut menimba ilmu untuk mengangkat kehidupan mereka ke tempat yang lebih baik. Keterbatasan modal disertai keterbatasan akses untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan seakan menciptakan sebuah lingkaran setan kemiskinan permanen yang tidak kunjung putus. Selama ini pemberantasan kemiskinan hanya berkutat pada pembangunan sektor non real yang tidak pernah menyentuh pada akar permasalahan itu sendiri.

Terus terang, dalam tulisan ini saya sama sekali tidak mendorong orang untuk bersikap pesimis dalam pemilu ini. Justru sebaliknya. Saya ingin mengajak orang untuk berpikir realitis dengan bersikap proaktif, tidak reaktif. Tidak sekedar menanti kesempatan tetapi menciptakan kesempatan. We are the real decision maker. Itulah kepastian yang hakiki. Kita dapat mengubah segala hal yang termasuk di dalam lingkaran pengaruh kita termasuk segala keputusan yang kita buat. Para pejabat level atas hanya sebagai penyedia sarana bukan penentu hidup kita. Biarlah setiap rezim berlalu silih berganti, tetapi satu-satunya yang bisa mengubah kehidupan kita adalah diri kita.

Landasan untuk melakukan semua itu bukan sekadar untuk mengangkat hidup kita atau keluarga kita tetapi jauh lebih dalam dari itu semua yakni wujud dari kecintaan pada tanah air sekaligus bentuk ungkapan syukur pada Tuhan, asal dan Tujuan hidup kita. Dalam lingkup kecintaan pada tanah air, mendiang John F Kennedy mengatakan, “Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tetapi tanyakan apa yang telah kamu berikan pada negara”. Kata-kata ini kritis seakan mengoyak berbagai paradigma yang telah mendarah daging di pikiran kita mengenai hubungan dengan Negara dengan warganya.

Hakekat cinta tanah air itu bukan sekadar diwujudkan dengan mengikuti upacara bendera, mengibarkan bendera merah putih, hafal pancasila, dan lain-lain. Sadarilah, bahwa semua itu merupakan sekedar symbol. Ada hal yang jauh lebih dalam dibalik symbol-simbol itu yakni nilai dan makna yang seharusnya menjiwai setiap tingkah polah manusia Indonesia. Mungkin, setiap orang menemukan makna dan nilai yang berbeda beda tergantung latar belakang yang melingkupinya. Tetapi percayalah nilai dan makna itu akan memperkaya sekaligus mendekatkan diri kita pada cita-cita yang telah didiikrarkan para pendiri bangsa.

Tidak perlu berpikir muluk-muluk dalam menyikapi rasa cinta tanah air. Tidak perlu digembar-gemborkan karena cinta sejati tidak berangkat dari apa yang diucapkan tetapi dari penghayatan yang membuahkan perbuatan nyata. Banyak hal yang bisa kita lakukan mulai dari hal-hal yang kecil di sekitar kita yang sering kita lupakan tetapi berkontribusi besar pada lingkungan dan mulai dari hari ini tanpa perlu menunda-menunda. Hasil memang penting, tetapi jangan menjadikannya indikator berhasil tidaknya usaha kita. Sebab, disadari atau tidak proses yang kita lewatilah yang sebenarnyalah adalah poin penting yang sebetulnya jauh lebih bermakna dari hasil itu sendiri. Terus terang, memaknai sebuah proses adalah hal yang memang masih sangat sulit bagiku. Selama ini saya hanya terpaku pada hasil, jika saya gagal saya jatuh pada kekecewaan yang dalam. Padahal, saya yakin seseorang itu dibentuk melalui setiap proses yang dilaluinya bukan dari hasil yang diperolehnya.

Selain itu, jadilah seseorang yang berkualitas. Saya percaya bahwa emas pasti akan berkilauan sekalipun berada di tempat terpencil dan dengan kilaunya itu, orang-orang akan berusaha menemukan emas yang ada. Kualitas karyalah yang membuat orang rela bersusah payah ke ke tempat yang sulit untuk bisa mendapatkan sesuatu yang bagus. Menjadi orang yang berkualitas, kata yang kelihatannya gampang dikerjakan. Meskipun ukuran pasti pribadi berkualitas tidak dapat ditentukan secara pasti tetapi kualitas itu dapat dirasakan. Kita dapat menilai kualitas diri melalui refleksi. Refleksi adalah pantulan diri kita yang nampak dalam perilaku sehari-hari. Meskipun tidak ada seorangpun yang sempurna di dunia, tapi saya yakin setiap orang bisa berjuang terus mencapai kesempurnaan demi dirinya, keluarganya, lingkungannya dan negaranya.

Berpikir kreatif, itu kata kunci yang bisa saya tangkap dalam pencarian saya mengenai bentuk cinta tanah air. Hal yang sangat sederhana dan ada di sekitar kita sebenarnya memiliki potensi yang bisa kita eksplorasi secara lebih dalam. Kearifan lokal pun mengajarkan demikian. Dalam kisah rakyat di lereng merapi, dikenal minyak jayakaton, yakni sebuah minyak yang digunakan orang untuk melihat hal-hal yang tidak kasat mata. Mungkin, sebagian orang menganggap minyak ini untuk melihat makhluk halus atau sebangsa. Namun, dalam refleksi saya, minyak jayakaton itu sejatinya adalah kemampuan seseorang untuk jeli menemukan apapun yang tidak bisa ditemukan orang lain di balik suatu kenyataan atau peristiwa. Bisa jadi, kemampuan itu berupa keterbukaan paradigma dalam memandang sesuatu, kita bisa menimba banyak hal sekaligus peluang dari setiap benda. Untuk menjadi kreatif, dibutuhkan kepekaan melihat tanda-tanda. Salah satu contohnya adalah selembar daun Jati. Selama ini kita terfokus daun jati hanya berguna sebagai bungkus makanan atau bahkan sampah tak berguna. Fokus inilah yang membuat orang berpikiran sempit dan tidak mampu melihat hal yang terkandung di dalamnya. Padahal, dengan hanya daun jati, orang dapat mendongeng atau melakukan apa saja yang tidak terbatas jika dilihat dari segi material demi menemukan sebuah esensi. Mari Duc in Altum……

KETIKA ANGKA TIDAK MAMPU BERBICARA

Judul Buku :Menyeberangi Sungai Air Mata

Kisah Tragis Tapol ’65 dan upaya Rekonsiliasi

Pengarang : Antonius Sumarwan SJ

Penerbit : Kanisius Yogyakarta

Tahun : 2007

Tebal :408 halaman

“Marilah kita terus berkisah, semua yang lain bisa menunggu. - itulah tugas utama kita, sehingga kita ingat betapa rapuh manusia ketika berhadapan dengan kejahatan yang mengepung dari berbagai penjuru. Marilah kita berkisah sehingga para eksekutor tidak dibiarkan menjadi pemilik kata terakhir. Kata terakhir adalah milik korban.”

Elie Wiesel(hal. 380)

A. Pengantar

Sepanjang hidupnya, manusia selalu mengalami berbagai dinamika kehidupan. Dinamika itu terekam dalam memori dan menjadi sebuah pengalaman. Dengan pengalaman itulah, manusia dapat belajar banyak hal sehingga pengalaman sering disebut sebagai guru terbaik di dalam hidup. Begitu pula dengan sejarah. Layaknya sebuah pengalaman, sejarah memiliki peran yang strategis bagi suatu bangsa. Bahkan dengan lantang, dalam suatu pidatonya, Soekarno pun berkata Jas Merah (jangan sekali-kali melupakan sejarah). Melalui sejarah kita dapat menimba banyak pelajaran dan dapat menjadi referensi agar negara tidak mengulang kesalahan yang sama sekaligus meneladani hal-hal positif di masa lampau. Melalui kesadaran akan sejarah semacam itulah, sebuah sejarah membantu sebuah bangsa untuk terus mengenali identitas, hakekat, dan tujuan dirinya yang sebenarnya agar tidak tercabut dari akar yang membentuknya.

Seperti yang telah dipelajari dalam kuliah Pendidikan Pancasila, metode hereneutika adalah salah satu alat untuk menggali dan menjelaskan nilai-nilai Pancasila melalui interpretasi sejarah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sepanjang perjalanan bangsa ini. Mengingat, bagaimanapun juga pancasila pun lahir dari pergulatan panjang dari sejarah itu sendiri. Di dalam pancasila terkandung nilai-nilai yang menjadi philosofische grondslag yang mampu mendorong manusia Indonesia menemukan esensi dari kemanusiaannya sendiri bila dihayati secara mendalam. Salah satu cara menghayatinya adalah dengan cara menjadikan pancasila menjadi “kacamata” untuk memandang setiap sejarah yang telah dilalui sehingga terpetiklah refleksi dalam sesuai karakter manusia Indonesia. Melalui refleksi itulah, proses internalisasi nilai pancasila pun terjadi dan teresap dalam tingkah hidup sehari-hari.

Salah satu bagian dari sejarah bangsa ini yang sampai sekarang masih kontroversial adalah peristiwa pembunuh sejumlah petinggi militer pada malam 30 September 1965 yang dikenal sebagai peristiwa G 30 S (Gerakan 30 September) atau di masa lampau dikenal sebagai peristiwa Gestapu (Gerakan Satu Oktober). Kata Gestapu ini digunakan untuk sebagai upaya doktrinasi bahwa kekejaman yang terjadi pada malam itu identik dengan kekejaman yang sama dilakukan oleh Agen Rahasia Nazi yakni Gestapo di Jerman pada rezim Adolf Hitler. Menurut versi pemerintah Orde Baru, PKI (Partai Komunis Indonesia) adalah dalang di balik peristiwa ini. Maka, istilah G 30 S selalu disandangkan dengan kata PKI diberbagai referensi yang menceritakan peristiwa ini.

Jujur, pengetahuan kita mengenai peristiwa ’65 memang sangat miskin. Sumber pengetahuan kita pra reformasi hanya terbatas pada informasi yang diberikan guru-guru kita di sekolah saat pelajaran Pendidikan Sejarah maupun melalui film Pengkhianatan G-30S yang selama masa Orde Baru selalu diputar di stasiun televisi setiap tanggal 30 September. Namun, di sekolah tidak pernah diajarkan kisah tragis pasca September 1965. Padahal, peristiwa G 30 S menjadi bagian yang penting dalam sejarah bangsa ini karena peristiwa besar ini memicu efek domino yakni terjadinya berbagai rentetan peristiwa besar lainnya di Indonesia sesudahnya.

B. Latar Belakang

Selama lebih dari 32 tahun, buku-buku sejarah mengenai peristiw G 30 S yang ada hanya mengkaitkan peristiwa ini dengan terbitnya SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) dan tindakan heroik Mayjend. Soeharto sebagai pemegang mandat SUPERSEMAR dalam upaya pembersihan PKI sampai akar-akarnya. Bisa jadi, hal itu terjadi dengan sistematis sebagai bagian dari upaya pengkultusan tokoh tertentu demi kepentingan tertentu. Padahal, akibat peristiwa G 30 S, terjadi efek lain yang juga penting, namun hanya dibahas sekilas tanpa penjelasan yang mendalam bahkan beberapa di antaranya terkesan dilupakan.

Hal ini bisa terjadi karena sejarah peristiwa itu hanya dilihat dari satu sudut pandang saja tanpa memperhitungkan sudut pandang lain. Nampak sebuah upaya monopoli penafsiran sebuah sejarah sekaligus klaim kebenaran dalam sejarah sejarah secara sepihak. Padahal, dalam mempelajari sejarah, setiap orang dituntut untuk bisa melihat suatu peristiwa dari berbagai sudur pandang sehingga tafsiran yang terbentuk dapat semakin obyektif dan holistik. Maka, muncullah dugaan bahwa sejarah yang selama ini dipelajari di berbagai jenjang pendidikan serta literatur dan diperingati setiap tahunnya hanyalah upaya propaganda untuk kepentingan politik tertentu yakni demi mempertahankan kekuasaan. Bahkan, ada nada subang yang mengatakan bahwa sejarah Indonesia bukanlah history tetapi hanya sekedar his story.

Selama rezim Soeharto berkuasa, sedikit sekali orang yang berani mempertanyakan kebenaran yang terjadi di balik peristiwa sejarah itu. Semua hal yang tercantum dalam buku sejarah seakan ditelan mentah-mentah dan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Baru setelah lengser keperabon nya Soeharto akibat aksi mahasiswa pada Mei 1998, mulai bermunculan orang-orang yang mencoba menafsirkan ulang sejarah secara lebih terbuka dari berbagai cara pandang tanpa mengikuti sejarah versi pemerintah.

Salah satu buku yang menarik untuk disimak adalah buku yang berjudul “Menyeberangi Sungai Air Mata” karya Rm. Antonius Sumarwan SJ. Buku ini mengulas peristiwa G 30 S secara mendalam melalui penuturan langsung dari para korban. Meskipun para korban itu mengalami berbagai penderitaan, para korban itu dapat mernarik refleksi yang sangat mendalam mengenai kemanusiaannya dari berbagai peristiwa yang dialaminya. Bila ditilik lebih jauh, sedikit banyak, refleksi mereka mengenai hakekat kemanusiaan itu menyentuh aspek universal yang tertuang di dalam nilai-nilai dalam pancasila itu sendiri. Hal itu sejurus ungkapan Prof. Dr. N. Drijarkara, SJ

“ Pancasila adalah inheren (melekat) kepada eksistensi manusia,lepas dari keadaan yang tertentu pada manusia pada konkretnya, Sebab itu, dengan memandang kodrat manusia, qua talis , kita juga akan sampai ke pancasila”

Melalui pendekatan tersebut, penulis memberanikan diri menjadikan buku ini sebagai bagian dari studi pendalaman pancasila karena buku ini menawarkan banyak hal yang sangat relevan mengenai nilai pancasila khususnya dalam pemikiran humanistiknya.

C. Deskripsi Singkat Buku

Buku ini merupakan intisari dari diskusi dalam sebuah mata kuliah teologi rekonsiliasi dari mahasiswa. Buku ini mencoba menelusuri lebih jauh jejak efek peristiwa ini sekaligus menjadi media pengingat agar tidak terjadi insomnia sejarah di antara anak bangsa.

Mungkin, bila dibaca secara sekilas, buku ini terkesan begitu jelas dan detail menggambarkan berbagai adegan kekerasan yang dialami korban pasca G 30 S. Bila didalami secara seksama, buku ini tidak bermaksud mengumbar kisah keji sekedar menggetarkan hati dan empati. Tapi, jauh lebih dalam, mencoba menggali refleksi dari para korban.

Buku ini berbeda dengan buku-buku lainnya yang juga membahas peristiwa G 30 S dan hanya berkecimpung seputar efek pada level atas saja dan hanya menguak data kronologi dan angka statistiknya. Padahal, dari data-data semacam itu, sama sekali tidak berkisah apa-apa di balik peristiwa itu dan hanya berusaha menyederhanakan apa yang terjadi di dalamnya. Data kronologi dan angka statistik tidak akan mampu menguak berbagai kisah pilu dan tragis peristiwa ini. Dengan penuturan kisah yang diperoleh langsung dari para korban yang notabene nya adalah pelaku sejarah yang secara gamblang mengetahui serta merasakan sendiri. Kini, mereka tenggelam tertelan di dalam arus ketidakberdayaan, buku ini memberikan gambaran nyata bagaimana kondisi para korban yang sebenarnya pada masa lalu sekaligus masa kini. Jadi, janganlah heran dan kaget bila menemukan berbagai kisah keji yang pernah dialami para korban secara vulgar.

Buku ini disusun secara sistematis melalui bab-bab yang mengalir sehingga soeseorang yang membaca dapat menikmati dan mendalami kisah beserta refleksinya dalam buku ini. Buku ini pula sedikit demi sedikit menyibak berbagai kebenaran yang tersembunyi di balik berbagai fakta yang ditutupi dalam sejarah sehingga secara tidak langsung mengajak kita supaya kritis dalam melihat sejarah. Salah satu contohnya adalah terjadinya pembantaian ratusan ribu bahkan di suatu literatur disebutkan angka 3,5 juta korban pasca peristiwa G 30 S di seluruh pelosok Indonesia, utamanya di Jawa Tengah dan Timur serta Bali. Yang terjadi ialah pembantaian rakyat sipil tak bersenjata, bahkan yang sudah ditangkap atau berada dalam kamp tahanan dan penjara. Sebagian pembantaian itu dilakukan secara rahasia, sebagian yang lain dilakukan secara terbuka yang dapat ditonton orang banyak sebagai
bagian dari teror mental. Sebagian korban lain pun tanpa adanya proses peradilan, ditahan dan dibuang di pulau Buru. Nampak, ada sebuah upaya meng”ghetto”kan korban ala Nazi agar para warga yang dicap PKI ini dapat dikontrol sekaligus dikungkung segala haknya. Meskipun, atas desakan masyarakat internasional, pada decade 1980-an, para kaum buangan ini berangsur-angsur dibebaskan meski dilabeli eks- tapol di KTPnya dan tetap mendapatkan ketidakadilan oleh masyarakat maupun pemerintah yang seharusnya mengayomi semua warganya.

Selama ini dianggap gerakan pembersihan PKI baik berupa pembantaian maupun penangkapan merupakan sebuah gerakan spontan rakyat. Padahal di berbagai tempat, gerakan ini muncul dimotori oleh sekelompok orang yang nampak telah dilatih dan dikomandoi secara sistematis oleh oknum tertentu.

Selain itu, menurut versi resmi pemerintah yang diungkapkan dalam film G 30 S/PKI, para petinggi militer yang dibunuh pada peristiwa G 30 S mengalami berbagai penyiksaan yang sadis mulai dari pencungkilan mata, pemotongan kelamin, dan lain-lain diawali dengan tarian seks Gerwani sebelum dibunuh. Padahal, para dokter yang memvisum jenazah para jenderal itu sama sekali tidak menemukan bukti bahwa mereka dibunuh seara biadab seperti yang diungkapkan di atas. Apakah ini adalah hakekat dari kebenaran dan sejarah itu sendiri?

D. Ulasan dan Analisis

Dari peristiwa G 30 S, Muncullah beberapa nominator yang diduga menjadi mastermind di balik peristiwa ini mulai dari PKI, Soeharto, Soekarno, CIA (Agen Rahasia Amerika Serikat), dan KGB (Agen Rahasia Uni Sovyet). Kedua lembaga terakhir yang disebutkan di atas mau tidak mau dimunculkan jika peristiwa itu dihubungkan dalam konteks dunia yang sedang diliputi perang dingin antara Blok Kapitalis pimpinan Amerika Serikat dengan Blok Komunis pimpinan Uni Sovyet. Kedua blok itu bersaing melebarkan sayap pengaruhnya ke seluruh dunia tidak terkecuali Indonesia. Bila hipotesis ini benar, Indonesia pun terlibat dalam sebuah arus konspirasi tingkat tinggi secara langsung maupun tidak langsung.

Lepas dari dunia percaturan politik global dan nasional, imbas yang terjadi tidak hanya pada tataran masyarakat atas. Tapi, masyarakat level bawah pun turut merasakan efek yang ditimbulkan dari peristiwa ini, bahkan jauh lebih besar goncangannya. Jutaan rakyat ditangkap, dibuang di Pulau Buru dan sebagian lagi dibantai karena dianggap sebagai antek-antek PKI dan ormasnya yang dianggap membahayakan tanpa melalui proses hukum di Negara yang mengaku berpancasila ini. Padahal, pancasila yang konon katanya menjadi pandangan hidup sekaligus menjiwa rakyatnya dalam tingkah perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengaku berketuhanan ini.

Pancasila seharusnya menjadi pandangan hidup yang menuntun manusia Indonesia menuju cita-citanya seperti yang telah dirumuskan oleh Founding Father dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Di satu sisi pada masanya, Pancasila pernah begitu dikultuskan sampai-sampai dalam pemaknaan dan penafsirannya pun tidak boleh sembarangan dari segala yang telah digariskan oleh pemerintah. Tapi di sisi lain pada masa reformasi ini, Pancasila dilupakan dan nampak sengaja diabaikan berikut dengan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya karena mungkin dianggap tidak relevan dengan zaman. Padahal, sejatinya, arti pancasila bukan terletak pada kesaktiannya yang tetap mampu bertahan dan selalu diperingati 1 Oktober pada hari Kesaktian Pancasila. Pancasila itu memiliki nilai-nilai yang tidak hilang dan lekang dari waktu dan itulah yang menjadi esensi dari pancasila itu sendiri. Di dalamnya, terkandung nilai–nilai Universal yang mampu mengikat seluruh warga Negara Indonesia menjadi satu kesatuan sekaligus menjadi semangat terdalam perimanusiaan Indonesia yang terdalam.

Salah satu kisah yang menarik dalam buku ini adalah kisah hidup Ibu Mamik yang mengalami penyiksaan fisik, seksual, sekaligus psikologi dan menyisakan luka yang tidak kunjung sembuh di dalam hatinya terlebih masih adanya berbagai stigma negatif yang melekat pada dirinya. Hal itu terjadi karena dulu Ibu Mamik dianggap terlibat dalam salah satu organisasi yang diduga berafiliasi dengan PKI. Padahal, ia hanyalah seorang seniman tari sederhana yang sekedar menghidupi kehidupannya sekaligus melestarikan budaya leluhurnya melalui kegiatan budaya. Ia dicap terlibat aktif dalam upaya Manikebu (Manifesto Kebudayaan) yang didengung-dengungkan PKI.

Ibu Mamik hanyalah satu dari ratusan ribu kisah yang tidak pernah muncul ke permukaan di balik data-data statistic dan kronologi yang selama ini menjadi bahan kajian berbagai orang dalam mempelajari sejarah.

Selama ini, manusia hanya sekadar diwakili oleh deretan angka statistika yang kadang menjadi bagian dari penggiring banyak kebijakan pemerintah. Padahal, sebuah angka bagaimanapun analisisnya tidak akan pernah mampu menceritakan ataupun mewakili berbagai kepiluannya sehingga seakan martabat kemanusiaannya tidak ada harganya di balik angka-angka itu. Mungkin saja, itulah alasan, mengapa berbagai kebijakan pemerintah dari dulu hingga sekarang tidak pernah mampu “membumi” sekaligus menyentuh orang-orang kecil yang miskin, lemah, dan tersingkir.

Pada masa itu, Begitu banyak rakyat kecil seperti petani pedesaaan yang setiap harinya hanya bergelut dengan lumpur di sawah, dicap komunis (meskipun kadang-kadang salah sasaran) dan menjadi korban yang tidak diperlakukan secara layak seperti manusia. Padahal, mereka sendiri yang baca tulis pun tidak bisa, belum tentu tahu menahu tentang PKI ataupun ajaran marxisme yang menjadi dasar komunisme. Mereka seakan hanya sekadar menjadi tumbal yang dipertaruhan demi kepentingan politik level atas yang tidak mungkin mereka jangkau tetapi merasakan efeknya begitu besar. Apakah ini yang dinamakan kemanusiaan yang adil dan beradab?

Sekalipun mereka memang simpatisan PKI level akar rumput, tidak semestinya hak dan martabat diri mereka sebagai manusia diinjak-injak karena pada dasarnya hak azasi adalah anugerah yang hakiki dari sumber dan tujuan hidup manusia yakni Tuhan. Hak azasi itu berupa hak untuk hidup sekaligus bebas melekat pada manusia sejak manusia dilahirkan sampai mati secara sama tanpa bisa dikurangi hanya karena perbedaan ideologi atau hal-hal lain yang sebenarnya tidak sejati.

Immanuel Kant pernah menulis bahwa “bertindaklah selalu sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan manusia, baik dalam dirimu, maupun dalam diri segenap orang lain, selalu sekaligus sebagai tujuan, dan tak pernah semata-mata sebagai sarana” (Kant, Metaphysics of Morals, hal. 36). Artinya, setiap orang, siapapun dia, apapun latarbelakangnya, harus dipandang sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan tidak pernah boleh digunakan sebagai alat bagi tujuan lain di luar orang itu sendiri. Sehingga, berbagai alasan perendahan martabat manusia seperti sebagai alat untuk pencapaian kekuasaan, alat pembenaran tindakan kejam, sebagai alat untuk melanggengkan otoritas ataupun lain-lain tidak boleh dilakukan seandainya setiap orang mengetahui esensi dari kehidupan manusia itu sendiri. Kesadaran inilah sebuah tantangan sekaligus peluang dalam usaha terus menerus menempatkan diri manusia sesuai pada hakekatnya.

Meskipun memahami manusia secara utuh itu adalah amat sulit karena begitu kompleks unsur yang melingkupinya, masalah kemanusiaan yang hakiki pun telah termaktub dan terumuskan amat baik di balik barisan kata di dalam “ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dalam sila ke 2. Makna kemanusiaan yang sesungguhnya bukanlah sebuah final dari kehidupan itu sendiri, tetapi seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Drijarkara. SJ, kemanusiaan itu berakar dari sifat manusia itu sendiri sebagai makhluk yang mem”belum” dan terus menerus menyempurnakan diri dalam sebuah proses belajar seumur hidup. Dengan mengkaji makna kemanusiaan semacam itu, manusia akan menemukan hakekat eksistensinya. Hakekat yang sepenuhnya mengantar manusia pada suatu penghargaan dan tanggungjawab terhadap sesama karena di dalam proses “ menjadi manusia” lah, manusia akan memahami bahwa dirinya amat bergantung pada manusia lain.

Teologi menjadi dasar pendekatan dalam penyusunan buku ini sehingga membuat kesaksian-kesaksian yang ditumpahkan para korban menjadi penggalan-penggalan sejarah yang hidup dan amat menyentuh dengan berbagai refleksinya. Dengan pendekatan inilah, sesungguhnya bisa menjadi contoh yang baik tentang pertemuan antara ketuhanan dan realitas kemanusiaan. Karena bagaimanapun, keduanya adalah satu mata uang yang tidak bisa dipisahkan dan utuh menjadi satu kesatuan yang tidak terelakkan.

Mungkin, pendapat di atas amat jauh bertentangan dengan apa yang diungkapkan oleh banyak pengkritik radikal terhadap agama maupun ketuhanan baik oleh Karl Marx, Friedrich Nietzche, maupun Sigmun Freud. Ambil contoh sebuah pendapat Karl Marx yang mengungkapkan bahwa realitas ketuhanan yang diusung dalam agama, dipandang membuat manusia tidak berjuang dengan sungguh di bumi dan sekedar menjadi tanda keterasingan.

Hal ini ditentangkan amat kontras dengan refleksi yang dipetik di dalam buku ini. Dalam konteks korban pembersihan PKI, penderitaan baik secara psikis maupun fisik, melalui kacamata ketuhanannya, tidak membuat orang jatuh pada keputusasaan dan menjadikanTuhan sebagai pelarian. Tetapi sebaliknya, mereka justru memperoleh kekuatan sekaligus kepercayaan bahwa melalui penderitaan itulah terselip makna bahwa Tuhan sendiri yang sedang membentuk mereka melalui peristiwa yang mereka alami meskipun peristiwa itu amat pahit bagi mereka. Dengan begitu, terbersit secercah harapan dan kepercayaan bahwa Tuhan amat baik mencintai mereka. Peristiwa ini pun membantu mereka menemukan akan hakekat kemanusiaan yang hakiki dari dirinya sendiri. Inilah sebuah ironi dalam paradoks yang nyata di dalam kehidupan ini. Bagaimanapun, Tuhan adalah asal dan tujuan setiap manusia yang sejati bagaimanapun manusia itu menolak kenyataan ini begitu rupa.

Dalam suatu pengalaman yang seperti mereka alami, mereka mereka dihadapkan pada suatu sisi dimana manusia mencapai sebuah titik dimana muncul ketidakberdayaan. Di titik itulah, setiap manusia akan menemukan bahwa dirinya itu benar-benar berada di dalam suatu keterbatasan dan terasa amat kecil. Melalui kesadaran itulah, manusia dibenturkan pada adanya realitas kemanusiaannya yang diliputi ketidakkuasaan di hadapan realitas ketuhanan dengan kemahakuasaannya yang amat menggetarkan (mysterium tremendum) sekaligus mempesonakan(mysterium fascinsum).

Kemahakuasaan Tuhan bekerja melalui mekanisme invisible hand. Ada di dalam setiap ketidakadaannya sekaligus tidak ada di dalam ke”ada”anya. Realitas itu tidak akan pernah nampak jelas tersurat di dalam hal-hal yang bersifat material seturut pendekatan para pengkritik radikal agama tetapi hanya bisa dirasakan tersirat di dalam sebuah kedalaman batin jika manusia benar-benar mau menelusurinya.

Selain itu, buku ini pun tidak sekedar menawarkan kisah para korban berikut refleksinya. Sebagai sebuah buku yang diangkat dari kuliah teologi rekonsiliasi social, buku ini pun mengangkat sebuah wacana untuk rekonsiliasi nasional untuk mengembalikan hak-hak mereka yang hilang terampas secara paksa sesuai nilai-nilai sila ke 5, Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Wacana ini mengajak kita untuk menaruh perhatian pada masalah-masalah nyata di dalam kehidupan ini dan pada konteks korban, rekonsiliasi bermakna lahirnya harapan baru, penyembuhan luka dan mentransedensikan dirinya jauh melampaui dari berbagai peristiwa yang dialaminya melalui penghargaan pada dirinya sebagaimana manusia seutuhnya. Oleh sebab itu, upaya rekonsiliasi jauh lebih penting daripada upaya pembangunan dan tidak perlu direspon seperti suatu alergi atau sekedar membuka luka lama tetapi karena bagaimanapun rekonsiliasi adalah modal awal untuk terciptanya persatuan dan kesatuan yang merupakan pondasi dari pembangunan itu sendiri.

Hal ini tentunya sesuai dengan sila Persatuan Indonesia. Persatuan bukanlah sekedar jargon belaka tetapi dihidupi dalam setiap nafas manusia Indonesia sebagai konsekuensi kehidupan bernegara dan berbangsa di tengah kemajemukan yang ada. Kemajemukan bukanlah penghalang dari persatuan itu sendiri tetapi harus dimaknai sebagai sebuah kekayaan yang seharusnya turut mewarnai dalam suatu harmoni yang mengalun indah. Jangan sampai luka-luka para korban turut terwarisi sampai pada anak cucu yang sama sekali tidak tahu menahu mengenai peristiwa kelam tersebut.

Sayang, usaha rekonsiliasi yang dirintis bersama untuk memperbaiki kehidupan bernegara ini harus kandas ditengah jalan hanya karena Mahkamah Konstitusi membatalkan UU KKR pada tahun 2007. Padahal diharapkan melalui UU KKR ini menjadi jembatan sekaligus pintu gerbang menuju sebuah kehidupan Indonesia yang lebih baik tanpa mengungkit-ungkit luka lama tanpa melupakan pelajaran dari peristiwa itu sendiri.

E. Penutup

Peristiwa G 30 S maupun imbasnya telah lewat lebih dari 43 tahun, para eks tapol (tahanan politik) dan keluarganya masih dianaktirikan pemerintah dan masyarakat setempat sampai sekarang. Berbagai tindakan diskriminasi mulai dari sulitnya mencari pekerjaan karena embel-embel cap ex tapol di KTP sampai pada urusan penguburan tulang-belulang para korban karena “dosa PKI” menempel pada diri mereka dan dianggap najis sehingga bumi pun dianggap tidak layak menerima mereka.

Buku ini bisa dianggap sebagai sebuah corong pengingat bahwa perjuangan para korban untuk memperjuangkan nasib dan upaya rekonsiliasi masih eksis sekaligus menjadi sarana yang mampu menyuarakan aspirasi yang selama ini tidak berdaya dan tenggelam di balik hingar-bingar derap pembangunan dan modernisme.

Hendaknya, pancasila yang menjadi elemen pemersatu sekaligus menjadi pandangan hidup bangsa terus dijiwai dan diresapi di dalam sanubari setiap orang. Sehingga, nilai-nilai pancasila dapat terpancar dalam pola kehidupan berbangsa. Korban di atas hanyalah satu dari komponen dari bangsa ini yang sama sekali belum merasakan arti kemerdekaan yang sesungguhnya di Negara yang konon katanya telah merdeka lebih dari 60 tahun silam. Masih banyak komponen lain bangsa ini yang hingga sekarang terus berjuang menemukan kemerdekaannya sebagai manusia. Kini, dengan modal pendidikan nilai pancasila, hati kita diketuk untuk mau dan mampu menjadi seorang utusan. Ad Maiorem Dei Gloriam….!