Kamis, 08 September 2011

Belajar dari Seekor Domba (Mzm 23)


Sang kala adalah musuh yang tidak akan pernah bisa dikalahkan. Detik-detik yang teruntai menjadi hari-hari yang telah dimakannya secara rakus tidak akan pernah bisa dimuntahkan kembali walaupun hanya sekedar membuang sisa makanan yang terselip di giginya. Disadari atau tidak, setiap orang selalu berlari untuk berlomba dengan waktu untuk mewujudkan mimpinya sebelum waktu itu dilahap habis oleh sang kala.
Ketakutan akan sang kala inilah kadang memenuhi pikiranku. Masa depan dengan segala ketidakpastiannya adalah rangkaian ketakutan yang diumbar oleh sang kala. Bisa saja, kini hidupku hanya diisi dengan bersenang-senang tapi bukanlah mustahil besok hari kehidupanku dijungkirbalikan dan hanya berkubang di antara kegagalan.
Teng… teng…teng
Suara lonceng angelus menggema mengisi keheningan Lereng Merapi sore itu. Dentang lonceng itu seakan memanggilku untuk segera sadar dari lamunan. Tidak lama kemudian terdengan samar suara adzan maghrib yang berkumandang dari loud speaker tua di mesjid yang menaranya tersembul di antara himpitan rumah-rumah joglo berdinding gedheg. Seorang anak usia tanggung yang sedang asyik menggembalakan domba-dombanya dirimbunnya rumput yang tumbuh liar di antara nisan dan kijing pun terpanggil untuk segera pulang untuk berbuka puasa. Dengan tongkatnya, ia menggiring domba-domba yang bulunya tidak lagi putih berbalut debu pasir menuju kandang yang tidak begitu jauh jaraknya
Bagi 30-an domba-domba itu, gembala itu adalah sebuah jaminan Tuhan akan kehidupannya. Setelah para domba itu tidak bisa lagi menikmati bebasnya menjadi domba liar yang berkeliaran di hutan seperti nenek moyangnya dulu, para domba itu hanya bisa memasrahkan diri pada gembalanya. Meskipun begitu, mereka masih bisa dengan bebasnya mengunyah rumput secara tenang tanpa risau hewan pemangsa akan menerkam mereka sebab gembala itu pasti melindungi mereka. Segala kebutuhan sebagai domba itu selalu dipenuhi oleh gembalanya. Makanan dan minuman selalu melimpah ruah jika berada di sisinya. Itulah kepastian yang diberikan kepada para domba.
Saya merasa iri pada para domba itu. Andai dalam hidup ini, saya memiliki gembala yang selalu menjamin kehidupanku, mungkin kini ketakutan tidak akan pernah datang menyapaku. Kini saya butuh seseorang yang bisa menjamin hidupku tapi saya tidak tahu kepada siapa saya bisa memasrahkan kehidupanku seperti seekor domba pada gembalanya.
Sejenak saya coba mengambil nafas dalam. Aliran udara masuk kedalam saluran pernafasan dan terasa menyegarkan diriku. Kesegaran udara ini memaksaku berpikir siapa ya yang memberiku oksigen, kebutuhan primer kehidupan. Saya yakin ini adalah rahmat Tuhan, gembala sejatiku. Rahmatnya selalu ada namun kurang begitu saya sadari. Belenggu rutinitas membutakan saya akan kebaikan Tuhan. Kebaikan Tuhan yang diberikan secara cuma-cuma hanya dipandang sebagai hal yang biasa sehingga tidak menjadi istimewa. Sekarang, Kemampuanku bersyukur seakan diragukan oleh saya sendiri.
Bila saya putar kembali rekamanan ingatanku, Tuhan baru saya ingat ketika kita menghadapi masalah. Masalah datang dan kitapun cuma bisa merengek-rengek pada Tuhan minta pertolongan seperti seorang anak kecil. Di tengah kegembiraan, Tuhan dilupakan dan hilang tenggelam dibalik keangkuhan kita. Sebuah ironi yang sebenarnya hanya mengolok-olok diriku sendiri. Kerap kali kita hanya memandang masalah hanya dari kulit luarnya saja. Terlalu terfokus pada masalah membuaiku untuk melupakan inti dari setiap masalah itu sendiri. Bila disadari, masalah adalah bumbu kehidupan. Di dalam masalah, Sang Gembala sejati hadir untuk membentuk kita meskipun kita merasakan ketidaknyamanan akibat dari masalah.
Karena Tuhan adalah gembalaku, sudah sepantasnya saya tidak perlu cemas akan kehidupan ini sebab sekalipun saya berjalan di lembah kekelaman, Tuhan pasti akan menyertai dan membimbingku. Bagaikan seorang gembala, Ia selalu menggiring domba-dombanya untuk mencapai keselamatan. Dalam keyakinanku tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan meskipun kita berada pada titik dimana kita merasa sama sekali tidak berdaya sebab Tuhan pastilah selalu menyediakan jalan dan tidak akan pernah membiarkanku berjuang sendirian. Rasa aman dibalik perlindungannya itu adalah harapan sekaligus penghiburan bagiku.
Gembala yang baik pastilah mengenal setiap dombanya dan selalu menempatkan setiap dombanya di setiap tempat istimewa. Dengan urapan rahmatnya yang melimpah, Tuhan selalu menyediakan diri untuk memenuhi setiap kebutuhan kita bahkan sebelum kita memintanya. Maka, pada dasarnya, hanya kebaikan dan kebaikanlah yang Tuhan berikan pada kita seperti aliran sungai yang tidak pernah kering dan memberi kehidupan bagi segala sesuatu di sekitarnya. Oleh karena itu, saya tidak perlu cemas akan masa depan dan sudah seharusnya kita selalu mengikutsertakan Tuhan dalam setiap langkah hidup kita karena Ia adalah Gembala yang baik. Deo Gratias…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar