Kamis, 08 September 2011

UAN yang Mencerahkan


Rasanya, UN telah menjadi momok tersendiri bagiku. Mungkin hal yang sama pun terjadi pada teman-teman lain kelas XII. Kenaikan jumlah pelajaran ditambah kenaikan standar kelulusan agaknya membuatku sedikit takut untuk menghadapinya. Untunglah, ujian itu telah berlalu. Namun, UN bukanlah sekedar UN, sebab di dalamnya terdapat banyak sekali pelajaran hidup yang bisa saya dapatkan.
Terus terang, sejak awal, saya adalah orang yang paling menentang adanya UN. Bagaimana tidak, masak perjuangan kami belajar hanya ditentukan dalam tiga hari yang masing-masing pelajaran Cuma dikasih waktu 2 jam. Rasanya sangat tidak sebanding. Bagiku, nilai UN sama sekali tidak bisa menjadi tolak ukur belajar di SMA dan tidak memrepresentasi makna belajar yang sesungguhnya.
Tapi mau bagaimana lagi, segala hal telah diputuskan oleh pemerintah lewat Permendiknas entah nomor berapa. Cuma satu hal yang bisa saya lakukan yakni menghadapinya. Saya menganalogikan UN ini dengan arena peperangan yang butuh berbagai persiapan baik mental, fisik, dan tentunya logistik agar segala hal berjalan sesuai dengan rencana. Untuk menghadapi UN ini, agaknya sudah saya siapkan sejak awal kali saya menjejakkan kaki di kelasXII dan menjadi sangat intensif ketika memasuki semester II. Di awal tahun, saya merelakan seharian berjalan-jalan ke toko hanya sekedar mencari amunisi yakni soal-soal dan intisari pelajaran yang merangkum berbagai cara cepat yang bisa diaplikasikan di dalam ujian.
Saya merasa kelemahan terbesarku terletak pada mentalku. Memang sih, banyak orang mengatakan saya adalah orang yang berdaya juang tinggi dan hal itu tidak bisa saya pungkiri. Namun, kerapkali, diriku selalu dipenuhi dengan perasaan takut sehingga membuatku tidak leluasa melakukan apapun. Ketakutan dan kecemasan serasa mengerdilkan diriku. Ketakutan itu muncul ketika melihat setumpuk bahan di atas meja yang harus saya “habisi”. Untuk mengatasi rasa takut itu, kucoba mencicil bahan dan mengklasifikasikan bahan sesuai dengan kisi-kisi ujian. Beban di mentalku agaknya semakin berat ketika saya telah memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan menuju imamat. Hal itu berarti saya nanti mesti berjuang mencari kuliah dan tetek bengek di belakangnya. Terasa banget hidup itu telah saya jadikan beban. Ingin sekali saya berteriak,”Tidak..........................!”
Saya rasakan ketakutan ini mungkin berpangkal pada ketakutanku pada masa depan. Rasanya hidup ini kok abotz banget ya. Setelah saya renungi, saya sadari kecemasan semacam itu tidak ada artinya. Toh ketakutan tidak akan pernah mengubah keadaan. Maka, kucoba lihat hidup ini secara lebih realistis. Hidup itu kan penuh dengan masalah. Tapi, saya percaya semua masalah pasti ada jalan keluarnya.
Kecederungan belajar macam ini membuat diriku jadi egois dan berusaha memforsir seluruh energi yang ada di dalam diriku untuk belajar. Memang sih, hal ini sedikit banyak membantuku menghilangkan rasa takutku. Namun, tetap saja diriku masih diliputi oleh rasa takut. Karena begitu takutnya, kadang saya berusaha memendamnya dan memaksakan belajarku sedemikian rupa. Hal itu tidak membuatku tenang, bahkan menjadikan UN sebagai pusat hidupku. Segala sesuatu yang saya pikirkan tertuju pada satu titik yakni UN. Bahkan, kadang saya memberanikan diri mengkorupsi jam rohani untuk terus belajar demi menghabiskan bahan. Dalam pikiranku, semakin banyak bahan yang saya habiskan dan saya lahap akan semakin tenanglah hatiku. Tapi, hal itu malah membuatku tertekan dan untuk sementara waktu diriku jadi lebih sensitif dan mudah sekali marah.
Berbagai kecemasan yang ada secara tidak saya sadari membuat diriku mencari pelarian. Pelarian itu bisa berupa main PS, makan di Mbak Tami meskipun perut sudah kenyang bahkan sampai masturbasi meskipun intensitasnya tidak berlebihan.
Bermodalkan buku Secret, kucoba membuat diriku yakin atas kemampuan yang ada di dalam diri. Toh, semua bahan yang akan diujiankan telah saya pelajari selama tiga tahun dan kini cuma sekedar mengulang. Awalnya, saya agak tergila-gila dengan isi buku ini. Kucoba mensugesti diriku. Namun, tetap saja hal ini sama sekali tidak membuatku tenang. Baru di halaman pertengahan buku ini, saya temukan sebuah kunci ketenangan yakni bersyukur. Bermodalkan mantra:” saya bahagia dan bersyukur,................”,kucoba melihat kehidupanku secara lebih dalam.
Baru setelah beberapa waktu, akhirnya, saya sadari ketakutan yang ada di dalam diriku muncul karena saya tidak menyertakan dan menyadari penyertaan Tuhan di dalam perjuanganku. Kucari bahan yang cocok untuk memeditasikan kebaikan Tuhan dan saya temukan hal itu di dalam Mazmur Tuhan adalah gembalaku dan perikop dalam Matius mengenai Hal Kekhawatiran. Memang sih, hal ini tidak langsung manjur dan berefek seketika. Namun, terjadi perubahan yang signifikan di dalam diriku dalam hal ketenangan. Ketenangan adalah kunci awal sebuah kesuksesan. Semakin kita tenang berarti semakin kita jernih pikiran kita sehingga bisa merespon segala sesuatu yang ada di dalam pikiran kita jauh lebih baik.
Meskipun beberapa hasil try out yang dilakukan untuk mempersiapkan UN tidak begitu baik. Namun, dengan bersyukur, hidup ini lebih terasa jauh lebih ringan. Nilai terburuk try outku adalah 4,25. Nyaris mendekati batas kelulusan. Meski awalnya sedih, tapi kucoba tetap bersyukur dan memaknainya. Paling enggak, 42,5 % dari pelajaran sudah saya kuasai. Alhamdulilah..., kini adalah waktunya untuk mengejar dan menguasai 57,5%.
Dari peristiwa UN ini, saya jadi lebih mengenal diriku sendiri. Saya jadi sadar bahwa saya ini adalah orang yang mudah panik. Ari adalah salah satu orang yang menyadarkan aku mengenai hal itu. Ia mengamati dan menganalisis diriku tanpa saya ketahui. Bila saya panik, saya menampakan penampakan fisik yang berbeda dengan titik keringat yang mulai muncul di hidung dan bibir menjadi lebih pucat dan kering. Kalau sudah begini gejalanya, saya jadi lebih mudah mutung dan bisa ngloyor begitu saja ketika belajar bersama.
Kepanikanku bisa dipicu oleh beberapa hal. Kondisi belajar yang ribut dan membuatku kesulitan konsentrasi adalah salah satunya. Faktor lain yang saya sadari adalah ketika saya kesulitan mengerjakan sesuatu soal dan ketika bertanya pada orang lain yang saya anggap mengerti tidak menggubrisku. Atau...,ketika belajar bersama, teman-teman yang saya ajak belajar malah sibuk berdebat sendiri tanpa menghiraukan aku. Ketika panik itulah diriku serasatak berdaya dan mentalku menjadi down. Hak ini jadi nampak ironis jika saya membandingkan hasil tes kepribadianku yang menyatakan saya adalah orang koleris yang memiliki kekuatan mental baja.
Ya..., mungkin diriku terlalu banyak menuntut orang lain sesuai dengan keinginanku. Padahal, kalau dilihat lebih dalam saya tidak mau dituntuti macam-macam oleh orang lain. Mungkin, diriku terlalu egois dan sombong untuk mengakui hal itu. Mungkin juga karena saya terlalu mengangap diriku terlalu superior sehingga segala kemauanku harus segera terlaksana. Ya..., kehidupan emosiku memang agak labil bahkan sangat labil. Emosi terlalu mengambil peran penting dalam hidupku sehingga malah hal itu menjadi bumerang bagi diriku sendiri.
Sebetulnya, rasa takut dan cemas itu adalah wajar dan sangat manusiawi. Kedua perasaan itu adalah sebuah mekanisme yang ada di dalam diri kita agar kita menjadi lebih waspada. Namun, bila berlebihan, rasa takut malah justru membuat kita menjadi tak bisa melakukan apa-apa. Rasa takut yang terolah dengan baik malah bisa menjadi mesin pendorong yang positif dalam hidupku dan hal itulah yang saya rasakan kini.
Saya sadari di seminari ini saya agak kurang bisa leluasa memanfaatkan waktu dengan baik. Di seminari yang memiliki pola asrama, kadang kepentingan pribadi harus mengalah pada ritme hidup asrama yang ketat. Hal itu belum termasuk seabrek tugas yang sudah menumpuk dan menanti untuk dikerjakan seperti persiapan HOT. Awalnya, saya agak merasa kekurangan waktu belajar di seminari. Kadang, saya merasa iri pada adik perempuanku yang setiap hari bisa leluasa belajar sampai pukul 23.30 dan ayahku sampai kelelahan menemaninya belajar. Tapi, saya mengerti di seminari ini, saya diajak untuk lebih proprosional dalam hidup. Belajar memang hal yang penting. Namun, belajar bukanlah satu-satunya hal yang penting dalam hidup karena manusia adalah makhluk multi dimensi. Bagaimanapun juga dimensi kehidupan yang lain selain intelektual pun mesti dikembangkan. Seperti perkataan Romo Rektor, “ jadilah pribadi yang holistik dan integral”.
Selama persiapan UN, waktu rasanya menjadi sangat berharga. Sedikit demi sedikit kucoba ubah kebiasaanku yang suka buang-buang waktu dengan sibuk pada hal-hal yang tidak penting. Sedikit banyak, kucoba tiru cara kerja Aven dalam mengelola waktu. Saya anggap Aven adalah orang yang begitu efektif menggunakan waktu. Ternyata, kuncinya terletak pada perencanaan. Perencanaan yang detil itulah yang membuat ia sukses menggunakan waktu. Jelaslah..., hal baik seperti ini perlu saya adopsi dan saya harap hal ini menjadi habitusku. Toh, setiap orang diberi modal yang sama yakni 24 jam selama satu hari. Tapi..., kenapa ya..., ada orang yang sukses tapi di sisi lain ada yang tidak sukses. Kucoba memaknai kesuksesan ini tergantung bagaimana seseorang memberdayakan waktunya secara baik dan efektif. Kucoba telisik berbagai rencana hidupku dan memadukannya sesuai prioritas.
Mungkin, memang tugasku di luar studi luar biasa banyaknya. Namun, bagaimanapun saya harus belajar profesional dengan tugas-tugas yang ada di pundak saya seperti kebidelan atau kepanitian. Di sini saya belajar totalitas. Saya diajak untuk selalu fokus akan hal yang saya lakukan dan mencoba melakukan yang terbaik dengan pola pikiran toh Tuhan telah begitu baik kepadaku, so.., apa yang bisa saya buat untuk-Nya. Saya berusaha mempersembahkan yang terbaik dari apa yang lakukan meskipun kadang di satu sisi kemalasan masih menghantuiku.
Percaya atau enggak, selama UN ini saya sedang terjangkit gila-gilanya mencari rumus cepat. Memang sih rumus cepat terbukti sangat efektif dalam mengerjakan ujian seperti ini. Tapi, pernah Bu Esthi memperingatkan saya bahwa rumus-rumus semacam itu hanya boleh dipakai kalau seseorang telah menguasai bahan yang ada dengan sungguh. Awalnya saya tidak terlalu memikirkan perkataan ini. Tapi, selama saya aktif berburu dan memakai rumus semacam itu, saya malah jadi merasa tidak berkembang.
Bahan yang saya pelajari sama sekali tidak “Duc in Altum” dengan kecenderungan belajarku hanya sekedar mencari nilai. Padahal, saya tahu bahwa non scholae sed vitae discimus. Pola semacam ini agaknya hanya akan mereduksi tujuan dan hakekat belajar itu sendiri. Maka, selain cari rumus cepat yang menurut saya penting karena soal mengutamakan kecepatan dan ketepatan, saya juga sedikit demi sedikit memperdalam bahan yang ada. Untunglah hal ini saya lakukan sebab rumus-rumus cepat semacam ini sama sekali tidak bisa diaplikasikan dan kembali rumus konvensionallah satu-satunya yang bisa dijadikan andalan.
Terus terang, selama persiapan UN ini diriku tidak bisa dipisahkan dari Ari. Saya sadari diriku adalah orang yang sulit mengerti mendalami suatu bahan. Ari saya rasakan sebagai katalisatorku dalam belajar meskipun saya agak takut nantinya malah saya jadi tergantung kepada orang lain dalam belajar. Tentunya, saya belajar tidak selalu ekslusif bersama Ari semata, banyak sekali teman-teman yang mau membantuku dan rela direpotkan olehku. Memang, awalnya agak berat ketika harus bertanya pada orang lain, rasa-rasanya saya terlalu tinggi hati untuk mengakui bahwa diriku itu kadang juga tidak bisa mudah mengerti. Dibutuhkan kerendahan hati, hanya sekedar untuk bertanya dan itupun saya rasakan sebagai sebuah perjuangan tersendiri.
Sebagai seorang anggota perantauan, semangat belajarku agak tergenjot jika saya mengingat diriku adalah seorang bersekolah jauh dari tempat tinggalnya. Dalam hal ini, saya jadi sadar, toh pengorbanan ini demi mengejar sesuatu yang bernilai sehingga bagaimanapun saya harus berjuang keras. Di sisi lain pun kadang diriku berpikir” Ngapain jauh-jauh sekolah cuma dapet nilai 6”. Hal semacam inilah yang membuatku terpacu dalam belajar.
Selama menjelang UN ini, rasanya banyak sekali godaan yang datang yang mengganggu persiapanku. Awalnya, diriku memang sedikit kompromistis. Tapi, saya sadari hal ini tidak akan pernah mengembangkan diriku. Saya tidak mau kecewa dan menyesal di kemudian hari atas apa yang saya lakukan sekarang. Maka,kucoba belajar memegang prinsip.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar