Kamis, 08 September 2011

Ketika Pemimpin Menjadi Seorang Pelayan


Belum hilang sepenuhnya gegap gempita dan eforia prosesi inagurasi terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat. Barack Obama, sebagai sebuah fenomena unik di tengah krisis subprime mortage yang melanda Amerika dan memicu bergugurannya beberapa perusahaan besar yang selama ini dikenal memiliki kekuatan financial yang kokoh. Sang anak Menteng dalam sekejap mampu memikat berjuta-juta orang dengan pesonanya dan kharismanya. Dengan slogan Change we need, ia berhasil menjungkirbalikkan paradigma bahwa kaum kulit berwarna yang pada awalnya hadir di Amerika sebagai budak tidak akan pernah mampu mencapai sebuah posisi yang selama ini di dominasi kulit putih di Amerika.
Republik ini rasanya perlu belajar banyak mengenai hal ini. Terpilihnya Barack Obama sedikit banyak memberikan pencerahan sekaligus inspirasi bagi dinamika kehidupan berpolitik Indonesia. Rakyat Amerika mampu memilih pemimpinnya bukan sekedar siapa yang maju dalam percaturan politik yang ada tetapi lebih pada apa yang dibawanya melalui setiap pemikirannya. Inilah yang disebut dengan kedewasaan politik.
Coba bandingkan dengan republik ini. Rasannya, keadaannya akan bereda 180 derajat dengan kaadaan yang ada di Amerika meski sama-sama menganut asas demokrasi yang menjunjung tinggi rakyat sebagai subyek utama dari pemerintahan. Lihat saja, kini menjelang pemilu, hampir di setiap sudut kota mulai berhias spanduk-spanduk narsis para calon legislative yang sedang akan berjuang mendapatkan kursi empuk para wakil rakyat.
Sebut saja Si Cepot, seorang calon legislative yang mulai menjajaki keberuntungannya di “jalur basah” ini. Baginya, anggota legislative memiliki peran yang cukup menggoda untuk diduduki. Dengan kendaraan politiknya dengan susunan kepengurusan yang tambal sulam demi kelayakan mengikuti pemilu, Si Cepot maju meski tidak memiliki modal pengalaman dan visi yang cukup. Bisa jadi terpilihnya si Cepot menjadi kandidat, hanya sekedar untuk memenuhi lembaran kertas suara pada partainya pada pemilu yang akan diselenggarakan bulan April. Si Cepot ini hanyalah contoh kecil bagaimana sebuah kepemimpinan dibangun di atas pondasi yang rapuh. Percayalah! Kepemimpinan seperti itu tidak akan pernah mampu bertahan dan mengubah segalanya menjadi lebih baik.
Politik memang sebuah sarana untuk mendapatkan kekuasaan. Tapi, kekuasaan itu hendaknya bukan sekedar atribut untuk memperkaya diri dan mementingkan golongannya. Seharusnya, mulai dibangun kesadaran bahwa pada hakekatnya, menjadi pemimpin adalah sama seperti seorang pelayan. Pelayan yang rela melayani dengan memberdayakan segala kemampuannya meskipun apa yang diberikannya tidak pernah sebanding dengan apa yang didapatkannya. Itulah makna sebuah amanah. .Hal itu bisa dimulai dengan hal-hal kecil dengan misalnya mengubah istilah menduduki ketika seseorang menjabat menjadi memangku. Memang, sekilas hal ini nampak sepele. Tetapi, kalau dirasakan dan dihayati, kata ini bisa mencerminkan sebuah pola dan spiritualitas dari sebuah kepemimpinan.
Seorang pemimpin haruslah melihat segala sesuatu secara integral dan menyeluruh sehingga setiap keputusan yang diambil adalah sebuah keputusan yang benar-benar tepat. Seorang pemimpin pun seharusnya peka melihat situasi dan mendengarkan suara rakyat yang terangkum melalui kehidupan orang-orang kecil yang ada di sekitarnya.
Barack Obama adalah contoh sebuah harapan dan visi yang jelas dari sebuah kepemimpinan yang mampu membuai banyak orang memilih dan mengidolakannya. Kini, cita-cita Martin Luther King Jr sudah jauh melampaui apa yang didambakannya dalam pidatonya yang terkenal “We have a dream”. Bagaimana Amerika akan dibawa beserta impian besarnya di bawah komandonya? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar