Kamis, 08 September 2011

Yuppy…, Aku Masih Bisa Belajar


Konon, katanya sich, kehidupan anak-anak zaman sekarang jauh lebih enak dan ringan jika dibandingkan dengan kehidupan di zaman ABG-nya bapak-ibu kita. Betapa tidak, kini, segala sesuatu tinggal minta pada ortu tanpa perlu susah-susah. Untuk sekolah saja, anak-anak sekarang kadang ogah-ogahan dan malas. Padahal, banyak ortu mengaku perjuangan untuk sekolah pada zamannya dulu susahnya setengah mati. Bagaimana enggak, dulu tidak mesti setiap anak di dalam keluarga dapet kebagian nikmatnya bangku sekolah karena beratnya beban ekonomi keluarga dengan anak berjubel di keluarga karena belum mengenal KB.

Kesusahan pun tidak berhenti hanya di situ. Kalaupun ada anak yang bisa sekolah, sekedar mengandalkan otak saja tidak akan cukup. Mereka pun perlu modal dengkul karena mereka harus bangun pagi-pagi sekali sambil berangkat bawa obor agar tidak terlambat sampai sekolah yang jaraknya puluhan kilo dari rumah. Belum lagi ketika harus belajar malam dengan penerangan lampu teplok dengan cahaya ala kadarnya. Maklum, katanya, PLN belum kepikiran nyalurin listrik ke desanya yang agak ke pedalaman.

Mungkin, pengalaman para ortu semacam itu sedikit banyak berpengaruh pada pola didik terhadap anak-anaknya sekarang. Ketika para ortu itu berkecukupan, maka mereka berusaha memberikan yang terbaik dan mendorong agar segala fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh anaknya. Bahkan tak sedikit ortu yang begitu semangatnya memacu belajar anaknya bahkan dengan memaksa sedemikian rupa. Mereka tidak mau dan tidak rela, segala hal yang dianggap mewah pada zaman mudanya dulu, disia-siakan begitu saja.

Terus terang, saya merasakan ortuku adalah tipe ortu yang kadang terlalu keras mendorongku untuk urusan belajar. Saking ditekankankan sedemikian rupa, sampai-sampai saya merasakan belajar itu adalah neraka. Mereka selalu menuntutku untuk terus belajar apapun waktu dan tempatnya. Saya dituntut dengan berbagai hal dan saya rasakan sendiri hal itu menjadi sebuah beban. Ya…, belajar telah menjadi beban. Beban itu kadang membuatku stress sendiri. Belajar bagiku adalah sebuah proses pengejaran nilai.

Tidak boleh ada nilai ulangan yang dibawah tujuh. Kalau ada, ya…, seperti biasa, omelan panjang lebar meluncur layaknya misil yang ditembakkan oleh pesawat jet ketika target tembakkannya terkunci. Mengerikan bukan….? Maka, hal yang saya takutkan dalam hidup selama ini bukanlah setan atau roh gentayangan dkk kayak yang sering muncul di TV-TV beberapa tahun yang lalu, melainkan mendapatkan nilai jelek. Pernah suatu kali, saya mendapatkan nilai jelek. Saking takutnya, saya tidak berani memperlihatkan pada orang tua saya.

Maklum, sejelek-jeleknya saya, saya masih cerdas dan tidak mau konyol dimarahi habis-habisan hanya karena nilai merah. Nilai ulangan yang baik saya perlihatkan pada ortu. Sebaliknya, nilai ulangan yang merah membara karena terbakar saya sembunyikan dengan apik di belakang lemari belajarku.

Baru, setelah rapotan [1], ortuku mulai curiga. Nilai raporku agak kebakaran padahal nilai ulangan yang dilihat mereka selalu bagus-bagus aja. Entah bagaimana ceritanya, akhirnya ortuku mengetahui segala perbuatanku. Terus terang, saya jadi agak curiga, jangan-jangan ortuku pernah bekerja di FBI atau CIA karena bisa melacak hal yang telah disembunyikan secara baik. Sejak kejadian itulah, orang tuaku jadi makin menekan aku dalam urusan belajar.

Pola belajar semacam ini sedikit banyak membentuk pola pikirku. Kecenderungannya, saya jadi seorang anak yang berambisi mendapatkan nilai yang bagus. Ambisi yang berlebihan ini agaknya membuat saya jadi kurang begitu menikmati proses belajar. Orientasiku hanyalah nilai dan nilai, tidak ada yang lain.

Kecenderungan untuk mengejar nilai jadi membentuk diriku untuk menghalalkan segal cara. Salah satunya adalah menyontek. Memang, beberapa kali saya berhasil melakukannya dan nilai yang saya peroleh baik. Namun, rasanya tidak ada kepuasan yang saya dapatkan dari nilai yang saya dapatkan dari menyontek. Yang ada hanyalah rasa bersalah. Saya telah mengadaikan hati nuraniku demi mengejar hal yang bisa saya raih dengan mengandalkan kemampuanku. Saya telah menyia-nyiakan kemampuanku. Saya jadi berpikir, bila saya begini terus, bisa jadi hal ini malah merusak diriku sendiriku. Konon, katanya, korupsi itu dimulai dari menyontek ketika seorang pejabat itu masih menjadi pelajar. Saya tidak mau hal itu terjadi padaku dan saya menghentikan segera perilaku seperti ini.

Saya sadari proses belajar mempunyai nilai yang jauh lebih luhur daripada angka-angka yang tertera di atas kertas. Sebetulnya, niat awal yang diberikan oleh ortuku dalam memaksaku belajar adalah baik. Mereka ingin menanamkan kebiasaan belajar. Namun, bagaimanapun proses belajar tidak boleh direduksi hanya sekadar mengejar nilai. Belajar itu adalah sebuah proses untuk mendapatkan bekal kehidupan. Maka, kucoba membentuk semangat belajarku tidak semata-mata berorientasi pada nilai tapi pada hal yang jauh lebih dalam yakni masa depanku.

Tekanan dari orang tua itu menjadi tantanganku dan pembakar semangatku. Saya kira biaya pendidikan kini mahal dan saya tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan mewah itu. Belajar adalah kesempatanku untuk berkembang. Maka, belajar adalah hal yang terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja.



[1] bahasa gaulnya anak-anak untuk menyebut pembagian hasil belajar di setiap akhir semester.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar