Kamis, 08 September 2011

MINYAK JAYAKATON


Sebuah Usaha Menggali Refleksi dalam Memaknai Kedalaman Cinta Tanah Air

Padamu negeri, kami berbakti

Padamu negeri, kami mengabdi

Padamu negeri, kami berjanji

Bagimu negeri, jiwa raga kami

Siapa tidak kenal lagu diatas? Mungkin, hampir sebagian besar orang Indonesia sudah hafal dan fasih menyanyikan lagu Padamu Negeri sejak kita sedang asyik-asyiknya bermain di bangku TK atau SD. Lagunya begitu singkat dengan nada sederhana yang berulang. Tapi, apakah setiap orang yang menyanyikannya turut menghayati sekaligus memahami setiap baris kata yang dirangkai oleh Kusbini ini? Mungkin jawabannya menjadi sangat relatif. Pada kenyataanya, segala hal yang sudah dianggap menjadi hal biasa dan dilakukan berulang ulang bagi manusia secara tidak sadar membentuk orang pada sifat otomatisasi.

Otomatisasi ini adalah kemampuan otak manusia untuk memudahkan segala hal tanpa perlu kendali yang lebih lanjut. Bisa jadi, kemampuan ini berefek boomerang bagi manusia di balik keuntungan yang didapatnya. Doa yang dilantunkan berulang-ulang, bisa jadi menenggelamkan orang pada sebuah kedangkalan doa yang mengakibatkan kekeringan rohani. Doa hanya sekadar lafalan suci tanpa arti karena sebatas diucapkan dimulut tanpa dimengerti makna yang terkandung di dalamnya. Hal itu sering terjadi pada saya, ketika saya berdoa misalnya doa bapa kami, tanpa saya sadar mulut mengucap dan ketika diakhir mengucapkan amin, saya merasa tidak mendapatkan apa-apa. Doa itu hanya sekedar lewat. Bisa jadi lagu yang sarat makna di atas bernasib sama dengan sebuah doa yang menjadi tanpa makna akibat dianggap hal biasa.

Lagu di atas tercipta berlandaskan rasa kecintaan begitu besar dan mendalam kepada negerinya. Bila kita menyusuri jejak teks yang ada, melalu kecintaan itu, mendorong orang untuk berbakti, mengabdi, bahkan berjanji memberikan jiwa raga bagi negerinya. Cinta mendorong orang untuk hidup jauh lebih hidup dan menggelorakan semangatnya untuk mempersembahkan hal yang terbaik yang dimilikinya.

Dalam konteks masa menjelang pemilihan presiden ini, banyak warga negeri ini menaruh sedemikian besar harapan pada calon-calon presiden yang bertarung. Begitu antusias dan fanatiknya, bahkan orang rela melakukan apa saja demi “idola”nya tersebut. Seakan-akan jika kandidatnya terpilih menjadi presiden, segala harapan yang digantungkan itu akan serta merta terwujud. Padahal, belum tentu segala janji yang digembar-gemborkan dalam masa kampanye akan diwujudkan dan sekedar menguap seiring berlalunya masa kampanye. Menggantungkan harapan pada calon pemimpin sama saja menggantungkan diri kita pada ketidakpastian. Ketidakpastian yang terlarut dalam sebuah eforia massa.

Lihat saja, lebih dari 64 tahun Indonesia merdeka, Negeri ini masih tetap berkutat di dalam lautan kemiskinan. Tidak perlu merujuk pada data-data statistic BPS yang njelimet tidak karuan dan sama sekali tidak mudah dimengerti kaum awam, cukuplah melihat keadaan sekeliling lingkungan sekitar kita. Masih banyak orang yang hidup menggelandang, mengemis, atau mengamen di tepi-tepi persimpangan jalan. Yang setiap harinya harap-harap cemas menanti seperser uang demi sesuap nasi dan harus bermain kucing-kucingan dengan satpol PP yang siap menangkap tak beda dengan polisi menangkap seorang penjahat tanpa menyadari bahwa mereka juga adalah manusia.

Bagiku, mereka adalah korban dari sebuah sistem ketidakadilan yang masih berlaku dari zaman kolonialisme hingga sekarang. dan diterapkan oleh sesama anak bangsa sendiri. Sebuah sistem yang mendorong berlakunya mekanisme pemiskinan secara struktural. Hal itu nampak nyata dari semakin mahalnya biaya sekolah yang tidak memungkinkan orang miskin turut menimba ilmu untuk mengangkat kehidupan mereka ke tempat yang lebih baik. Keterbatasan modal disertai keterbatasan akses untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan seakan menciptakan sebuah lingkaran setan kemiskinan permanen yang tidak kunjung putus. Selama ini pemberantasan kemiskinan hanya berkutat pada pembangunan sektor non real yang tidak pernah menyentuh pada akar permasalahan itu sendiri.

Terus terang, dalam tulisan ini saya sama sekali tidak mendorong orang untuk bersikap pesimis dalam pemilu ini. Justru sebaliknya. Saya ingin mengajak orang untuk berpikir realitis dengan bersikap proaktif, tidak reaktif. Tidak sekedar menanti kesempatan tetapi menciptakan kesempatan. We are the real decision maker. Itulah kepastian yang hakiki. Kita dapat mengubah segala hal yang termasuk di dalam lingkaran pengaruh kita termasuk segala keputusan yang kita buat. Para pejabat level atas hanya sebagai penyedia sarana bukan penentu hidup kita. Biarlah setiap rezim berlalu silih berganti, tetapi satu-satunya yang bisa mengubah kehidupan kita adalah diri kita.

Landasan untuk melakukan semua itu bukan sekadar untuk mengangkat hidup kita atau keluarga kita tetapi jauh lebih dalam dari itu semua yakni wujud dari kecintaan pada tanah air sekaligus bentuk ungkapan syukur pada Tuhan, asal dan Tujuan hidup kita. Dalam lingkup kecintaan pada tanah air, mendiang John F Kennedy mengatakan, “Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tetapi tanyakan apa yang telah kamu berikan pada negara”. Kata-kata ini kritis seakan mengoyak berbagai paradigma yang telah mendarah daging di pikiran kita mengenai hubungan dengan Negara dengan warganya.

Hakekat cinta tanah air itu bukan sekadar diwujudkan dengan mengikuti upacara bendera, mengibarkan bendera merah putih, hafal pancasila, dan lain-lain. Sadarilah, bahwa semua itu merupakan sekedar symbol. Ada hal yang jauh lebih dalam dibalik symbol-simbol itu yakni nilai dan makna yang seharusnya menjiwai setiap tingkah polah manusia Indonesia. Mungkin, setiap orang menemukan makna dan nilai yang berbeda beda tergantung latar belakang yang melingkupinya. Tetapi percayalah nilai dan makna itu akan memperkaya sekaligus mendekatkan diri kita pada cita-cita yang telah didiikrarkan para pendiri bangsa.

Tidak perlu berpikir muluk-muluk dalam menyikapi rasa cinta tanah air. Tidak perlu digembar-gemborkan karena cinta sejati tidak berangkat dari apa yang diucapkan tetapi dari penghayatan yang membuahkan perbuatan nyata. Banyak hal yang bisa kita lakukan mulai dari hal-hal yang kecil di sekitar kita yang sering kita lupakan tetapi berkontribusi besar pada lingkungan dan mulai dari hari ini tanpa perlu menunda-menunda. Hasil memang penting, tetapi jangan menjadikannya indikator berhasil tidaknya usaha kita. Sebab, disadari atau tidak proses yang kita lewatilah yang sebenarnyalah adalah poin penting yang sebetulnya jauh lebih bermakna dari hasil itu sendiri. Terus terang, memaknai sebuah proses adalah hal yang memang masih sangat sulit bagiku. Selama ini saya hanya terpaku pada hasil, jika saya gagal saya jatuh pada kekecewaan yang dalam. Padahal, saya yakin seseorang itu dibentuk melalui setiap proses yang dilaluinya bukan dari hasil yang diperolehnya.

Selain itu, jadilah seseorang yang berkualitas. Saya percaya bahwa emas pasti akan berkilauan sekalipun berada di tempat terpencil dan dengan kilaunya itu, orang-orang akan berusaha menemukan emas yang ada. Kualitas karyalah yang membuat orang rela bersusah payah ke ke tempat yang sulit untuk bisa mendapatkan sesuatu yang bagus. Menjadi orang yang berkualitas, kata yang kelihatannya gampang dikerjakan. Meskipun ukuran pasti pribadi berkualitas tidak dapat ditentukan secara pasti tetapi kualitas itu dapat dirasakan. Kita dapat menilai kualitas diri melalui refleksi. Refleksi adalah pantulan diri kita yang nampak dalam perilaku sehari-hari. Meskipun tidak ada seorangpun yang sempurna di dunia, tapi saya yakin setiap orang bisa berjuang terus mencapai kesempurnaan demi dirinya, keluarganya, lingkungannya dan negaranya.

Berpikir kreatif, itu kata kunci yang bisa saya tangkap dalam pencarian saya mengenai bentuk cinta tanah air. Hal yang sangat sederhana dan ada di sekitar kita sebenarnya memiliki potensi yang bisa kita eksplorasi secara lebih dalam. Kearifan lokal pun mengajarkan demikian. Dalam kisah rakyat di lereng merapi, dikenal minyak jayakaton, yakni sebuah minyak yang digunakan orang untuk melihat hal-hal yang tidak kasat mata. Mungkin, sebagian orang menganggap minyak ini untuk melihat makhluk halus atau sebangsa. Namun, dalam refleksi saya, minyak jayakaton itu sejatinya adalah kemampuan seseorang untuk jeli menemukan apapun yang tidak bisa ditemukan orang lain di balik suatu kenyataan atau peristiwa. Bisa jadi, kemampuan itu berupa keterbukaan paradigma dalam memandang sesuatu, kita bisa menimba banyak hal sekaligus peluang dari setiap benda. Untuk menjadi kreatif, dibutuhkan kepekaan melihat tanda-tanda. Salah satu contohnya adalah selembar daun Jati. Selama ini kita terfokus daun jati hanya berguna sebagai bungkus makanan atau bahkan sampah tak berguna. Fokus inilah yang membuat orang berpikiran sempit dan tidak mampu melihat hal yang terkandung di dalamnya. Padahal, dengan hanya daun jati, orang dapat mendongeng atau melakukan apa saja yang tidak terbatas jika dilihat dari segi material demi menemukan sebuah esensi. Mari Duc in Altum……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar