Kamis, 08 September 2011

Ketika Hidup Menjadi Sebuah Seni Sebuah Tinjauan Film" Modigliani




Renoir: "Are you mad?"Modigliani tersenyum, melalui bahasa tubuh ia menyampaikan: "Kegilaan saya sedikit."
Disadari atau tidak, banyak hal di dunia ini relatif dan sangat tergantung dari bagaimana cara kita memandangnya. Itulah peran dari paradigma. Paradigma bisa diasosiasikan dengan kaca mata. Apa yang kita pandang disangat dipengaruhi oleh jenis kacamata yang kita pakai. Bisa jadi hal-hal yang indah dan penuh warna menjadi gelap dan nampak suram ketika kita mengenakan kacamata hitam. Begitu pula sebaliknya. Film Modiglinani membantu kita melihat hidup dengan cara berbeda. Hidup adalah seni. Keindahan itu akan terpancar dari setiap goresan pengalaman yang akan mewarnai kanvas kehidupan itu sendiri dan memberi makna bagi orang yang menjalannya jika kita jeli dan peduli melihat sesuatu secara lebih mendalam.Amedeo Clemente Modigliani (12 Juli 1884 - 24 Januari 1920), adalah seorang pelukis berdarah Yahudi-Italia, kelahiran Livorno, Italia. Dedo atau Modi, panggilannya. Sebagai seorang pelukis, ia mencurahkan banyak waktu dan perhatiannya untuk menghasilkan karya lukisan. Didukung oleh lingkungan masyarakat Italia yang begitu mengapresiasikan seni dengan begitu tinggi, Modigliani berkembang menjadi seorang pelukis yang mampu menjadikannya sekasta dengan maestro seni Pablo Piccaso.

Banyak orang di sekitarnya menganggap Modigliani adalah sosok gila. Bagaimana tidak, sakit TBC yang mendera paru-parunya sama sekali tidak menyurutkan kebiasaannya mengkonsumsi alkohol dan drug. Selain itu, ia pun sering menari-nari di sekitar sebuah patung tanpa alasan yang jelas. Bisa jadi, ekspresi semacam ini adalah cara Modigliani melihat dan menikmati hidup ini secara berbeda.

Film Modigliani secara garis besar mengantarkan penontonnya memperoleh makna pencarian jati diri melalui seni. Ia menciptakan seni tidak sekedar hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi hidupnya. Tapi justru sebaliknya, dari sanalah ia dapat menggali makna dengan sangat dalam dan itulah yang membuat karyanya menjadi sangat bernilai. Salah satunya terekam dalam dialog Modigliani dan Jeanne, kekasihnya “Bagaimana saya bisa menggambar matamu jika saya tidak tahu gambaran dari jiwamu”. Modigliani sangat mengerti bahwa ekspresi mata merupakan ekspresi dari jiwa seseorang. Ia berusaha melihat sesuatu secara mendalam dan mengabadikannya dalam lukisan hal-hal yang tidak sanggup dilihat oleh orang lain.

Sedikit demi sedikit, kritik sosialpun disisipkan dalam film ini. Gambaran masyarakat eropa pada masa itu mengenai rasisme terhadap orang keturunan Yahudi digambarkan secara gamblang diwakili oleh Ayah Jeanne. Modigliani harus berjuang keras meluluhkan hati Ayah Jeanne yang sudah dibelenggu dengan paham rasisme.

Gambaran perang pun dikritik dalam film ini. Ketika selegiun pasukan Perancis memasuki kotanya dan disambut oleh warga dengan panji-panji kebesarannya. Justru Modigliani melihatnya secara berbeda dalam pertanyaan klise” Apakah mereka sadar untuk apa dan siapa mereka berperang?”

Alur konflik terbangun pun terjalin dengan sangat bagus. Persaingannya dengan Pablo Piccaso tidak membuatnya jatuh pada permusuhan yang tidak produktif dan merugikan tetapi justru mengantarkannya melahirkan sebuah karya seni terbaik. Ia berhasil memenangkan kompetisi berhadiah 5000 Frank yang diikuti oleh para master lukis. Sebuah obsesi yang sangat menggunggah hati.

Film ini dibalut dengan kisah cinta Modigliani dan Jeanne yang sangat memikat meskipun nampak sangat ironik. Disini cinta yang disajikan tidak jatuh pada kisah yang picisan tapi justru sebaliknya terkesan sangan mendalam. Cinta dimaknai dalam bingkai keabadian.

Ia berjuang mati-matian mendapatkan akta perkawinan sebagai syarat untuk mendapatkan hak asuh anaknya yang diambil paksa oleh ayah Jeanne. Tepat pada malam pengumuman pemenang hasil kompetisi, Modigliani justru menghabiskan waktunya di bar tanpa uang sepeserpun. Satu-satunya modal yang dimiliki oleh Modigliani adalah keyakinannya memenangi 5000 frank. Apa yang ia lakukan harus dibayar mahal. Modigliani tewas dianiaya karena tidak membayar apa yang ia minum. Ironi sangat jelas digambarkan dalam film ini. Scene orang-orang mengagumi lukisannya di kompetisi harus dipertentangkan scene Modigliani yang terbujur kaku di atas salju.

Kisah ini tidak berhenti hanya sampai itu. Sebuah paradok romantis yang mungkin bagi sebagian orang sangat tidak masuk akal dimulai. Jeanne yang mengandung memutuskan terjun bebas dari lantai dua rumahnya dan tewas seakan-akan ingin menyusul Modigliani.
Disinilah kekuatan cinta tergambarkan seperti kisah Romans Romeo dan Juliet atau Hamlet karya Shakespears. Cintalah yang mempersatukan mereka dan tidak ada hal yang dapat memisahkan mereka bahkan termasuk kematian itu sendiri.

Keunikan film ini adalah deskripsi sosok Modigliani yang digambarkan bersama dengan dirinya sendiri ketika masih kecil berdialog bersama. Hal ini adalah gambaran bahwa manusia tidak akan pernah lepas dari masa lalunya. Pengalaman seseorang terdahulu adalah pembentuk kepribadian seseorang di masa sekarang.

Film dengan alur maju mundur ini dipenuhi berbagai bumbu yang menghibur dan mendidik meskipun terkesan agak berat dicerna. Bisa dijadikan sebagai referensi renungan bagi orang yang sedang belajar untuk mengerti makna bahwa hidup ini adalah sebuah proses seni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar