Kamis, 08 September 2011

GAUL AMA OMA OMA

Sebetulnya, ada perasaan berat ketika berlibur panjang ada tugas dari kepamongan. Tapi, apa boleh buat…, toh hal ini juga untuk kebaikan saya juga. Salah satu tugas yang agak berat adalah live in minimal tiga hari dua malam. Awalnya ada kebimbangan saya melakukan ini sebab terus terang saya belum pernah terjun langsung melakukan hal yang seperti ini. Sepintas ada bayangan panti wreda “Nazaret” di lingkungan gereja paroki saya. Namun, entah kenapa ada perasaan malas pergi ke sana. Tiba-tiba aja, ada dorongan untuk berbohong kalau saya sudah pergi ke sana dan untuk membuat refleksinya, saya bisa menggunakan laporan agama SMP saya ketika saya mendapat tugas berkunjung ke sana. Namun saya kira hal itu akan membuat saya tidak berbeda dari seorang penipu, toh seorang penipu tidak hanya menipu orang lain tapi juga menipu dirinya sendiri. Akhirnya saya putuskan untuk mencoba live in di sana dengan terlebih dulu meminta izin kepada Sr. Shinta, pengelola panti wreda “Nazaret”.

Ketika saya datang, rasanya ada perasaan takut dan cemas, jangan-jangan saya tidak diterima dengan baik oleh oma-oma di sana. Di dalam bayangan saya, oma-oma itu cuek-cuek dan selalu rewel minta dilayani atau bahkan pada stres karena dibiarkan merana oleh kelurganya di panti jompo. Tapi semua paradigma itu berubah ketika saya menjejakkan kaki di sana. Saya masuk ke dalam sambil masih menenteng tas dan diajak ikut berdoa koronka bersama oma-oma. Memang sih, di sana ada kebiasaan selalu berdoa koronka setiap jam tiga sore. Saya kira hidup di panti jompo tidak berbeda dengan kehidupan di biara. Lihat aja rutinitas di sana proporsi waktu rohani sangat banyak mulai dari misa pagi, doa bersama, koronka sampai berdoa rosario.

Sebetulnya tugasku di sana tidaklah banyak hanya membantu di dapur, membagikan makanan, memimpin doa, ikut senam pagi bersama oma-oma, menemani oma-oma berjemur di bawah matahari pagi, mencuci piring dan sisa waktunya dipakai untuk menemani oma-oma bersharing ria akan segala pengalamannya. Di sana, ada sekitar 20 oma-oma dan saya mengenal sedikit mereka, mulai dari oma Arni, Oma Kristin, Oma Kristina, Oma Ken, Oma Aladin, Oma Eli, Oma Wati, Oma Heni, Oma Yati, Oma Heti, Oma Atun, dan Oma Weti.

Percaya atau enggak, hidup di panti jompo itu sangat mahal lho. Bayangin aja untuk hidup dan tinggal di panti bisa mencapai Rp 700.000 per bulan. Hal ini berarti sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga yang berkecukupan. Beberapa sih ada yang masih melajang sampai tua dan ada juga yang sudah di tinggal suami dan mungkin dimasukkan ke panti karena anak-anaknya atau keluarganya sudah kerepotan mengurus anak-anaknya sehingga tidak sempat mengurus orang tua mereka. Terus terang, saya tidak akan dan tidak mau memasukkan orang tua saya ke panti jompo. Toh, bagaimanapun orang tua saya adalah orang yang telah melahirkan, merawat, dan membesarkan saya meskipun sebagian besar di antara mereka sudah hidup bahagia di panti itu.

Saya merasa mereka tidak kesepian di sana walaupun ada beberapa oma yang tidak pernah dikunjungi oleh keluarganya sampai bertahun-tahun. Salah satunya adalah Oma Kristin, ia berasal dari Cianjur dan berkat kemurahan seorang pastor, ia dimasukan ke panti karena ia hanya tinggal sendirian di rumah kontrakan. Karena itu, saya merasa kasihan padanya dan mau menjadi oma angkat saya. Saat itu, saya berjanji bila ada liburan lagi, saya mau mengunjunginya.

Kebanyakan dari oma-oma itu sudah menderita penyakit antara lain asma, diabetes, rematik, parkinson. Nah dari semua itu, saya merasa kasihan dengan dengan oma Atun, sebab ia menderita sakit rematik sampai-sampai ia harus menggunakan kursi roda kemana-mana. Oh iya..., Oma Atun ini adalah oma yang paling tua, ia berumur 94 tahun dan menderita sakit diabetes dan harus menjalani diet ketat. Satu jari kakinya sudah berwarna putih dan entah kapan akan diamputasi. Tapi, saya lihat, ia merasa sangat bahagia di sana dan ia selalu berbicara mengenai makanan terus mulai dari peuyeum, jenang, getuk, gudeg dan pada ulang tahunnya nanti ia meminta kepada suster dibelikan mie yamin manis. Ketika ia dan bersama oma-oma lainnya berjemur di pintu panti ia menggunakan topi bundar dan tertidur persis seperti seorang anak yang sedang tertidur di kursi. Seorang suster melihatnya dan merasa mungkin oma Atun kepanasan dan dipindahkan ke tempat yang teduh dan menyisirinya sebab rambutnya njegrak kayak gaya rambut spike yang sedang digandrungi anak muda sekarang sekarang. Ketika disisiri, banyak sekali rambut putihnya yang rontok dan ia bercerita tentang keinginannya ketika nanti meninggal didandanin pakai baju malaikat seperti Oma yang meninggal sepuluh hari yang lalu. Ia ingin dikubur di samping suaminya di kuburan pandu. Tapi, kata suster kuburan pandu sudah penuh dan bila dulu tidak disiapkan, sekarang sudah tidak ada tempat dan akhirnya akan dikremasi. Dengan nada menggoda suster berkata nanti dimakamkan menggunakan pocong dan dibungkus kayak lontong sambil diberi lipstik berwarna hijau, tapi Oma Atun tidak mau dan ia heran kenapa awalnya ngomongin makanan kok bisa sampai ke masalah kematian. Tapi ia berkata akan pasrah pada orang yang hidup bila ia meninggal

Banyak sekali kejadian lucu di sana, mulai dari senam pagi oma-oma yang mirip joget anak TK, oma-oma yang berebut kursi, oma-oma yang suka menggosip, oma-oma yang lupa menaruh tasnya dan uring-uringan mencarinya, oma-oma yang selalu membuang pampersnya di mana-mana, oma-oma yang mengeluh pengasuhnya pelit memberi gula dan susu pada oat mealnya, sampai oma-oma yang setiap jam empat pagi selalu membawa bungkusan yang berisi pakaiannya dan ingin pergi dari panti dan hendak pergi ke Kali Wetan. Namun, untunglah pintu panti selalu dikunci dan oma-oma yang lain menakutinya bahwa di luar sedang banyak polisi yang akan menangkap oma-oma yang hendak kabur dari panti. Pokoknya di dalam panti banyak sekali deh kejadian-kejadian konyol yang mungkin tidak akan pernah ada di luar panti atau bahkan di seminari sekalipun.

Di panti saya dijadikan teman mengobrol dan bernostalgia mengenai segala pengalaman mereka. Oh iya, beberapa dari mereka kalau bernyanyi kebanyakan menyanyikan lagu-lagu Belanda dan ada beberapa dari antara mereka yang menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Ada sih satu orang Belanda asli yang tinggal di panti dan saya kira waktu mudanya pasti sangat cantik. Tapi, toh secantik-cantiknya wanita kalau sudah tua akhirnya berkeriput juga. Oh iya, ada Oma Heti yang memberi kertas-kertas yang berisi doa-doa dan oma Aladin yang memberi saya handuk dan banyak sekali makanannya. Saya tinggal di kamar Oma Aladin dan karena kehadiran saya, ia terpaksa hijrah ke kamar sebelah. Satu lagi ada satu kerepotan kalau saya mandi, soalnya kamar mandi di panti tidak ada selot atau penguncinya jadi ketika saya mandi, kaki saya harus repot menahan pintu agar tidak ada oma yang masuk dan melihat saya mandi.

Ada satu oma yang bernama Oma Ken, ia selalu diam terus sepanjang hari dan kadang melamun. Ketika saya dekati, ia bercerita ia tidak punya agama dan tidak percaya akan adanya Tuhan. Sebetulnya saya kasihan pada oma yang satu ini tapi karena oma ini terlihat tidak bisa memberikan interaksi yang cukup seperti oma-oma lain kepada saya, saya akhirnya pergi. Mungkin ia merasa kesepian. Mungkin, ada pengalaman tertentu yang membuatnya merasa tidak percaya Tuhan tapi saya yakin di dalam dirinya ia punya kesadaran dalam bersyukur

Begitulah pengalaman saya di panti jompo. Paradigma saya mengenai oma-oma yang berada di panti selama ini ternyata salah. Mereka ternyata sangat baik dan ramah. Saya kira mereka adalah orang yang beruntung sebab mereka memiliki umur yang panjang jika dibandingkan orang lain. Saya kira hidupnya di panti selalu terjamin sebab perawat di sana sangat baik dan rela mengabdi untuk melayani orang-orang tua yang katanya sudah produktif padahal bila mau bercerita kayaknya mereka memiliki segudang pengalaman. Segala fasilitas rasanya cukup baik, mulai dari gereja yang berada di sebelahnya dan rumah sakit yang berada di depannya yang siap 24 jam bila terjadi apa-apa. Di sana ternyata mereka sangat mengharapkan saya untuk menjadi imam dan hal ini menguatkan saya sebab saat ini saya merasa bimbang dan cemas mengenai keadaan hidup dan panggilan saya. Semoga aja oma-oma dan seluruh pengurus panti itu selalu dilimpahi rahmat yang berlimpah. AMIN.

EMANUEL AGUNG WICAKSONO

Seminari Menengah Mertoyudan 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar