Kamis, 08 September 2011

Hal yang Berbeda tidak selalu “Berbeda”


Sebuah Pencarian Benang Merah dalam
Kisah Pengungsian Kelurga Kudus ke Mesir dan Film Rabbit Proff Fence

Sebuah Pengantar
Di sadari atau tidak, banyak hal di dunia ini yang bisa dijadikan guru dalam hubungannya dengan kehidupan bahkan di antara peristiwa-peristiwa sederhana. Dibutuhkan sebuah kepekaan untuk bisa menangkap makna di balik sesuatu. Kadang, ada hal-hal yang bila dilihat sekilas tidak nampak kaitannya sedikit pun tapi bila kita berani untuk berani menguliti kulit yang membungkusnya secara teliti, banyak sekali kekayaan yang sebetulnya bisa menjadi kekayaan kita. Dalam paper ini, saya akan mencoba menarik sebuah benang merah dari dua kisah (Kisah Pengungsian Kelurga Kudus ke Mesir dan Film Rabbit Proff Fence) yang berbeda namun memiliki banyak kesamaan dalam memaknai kehidupan.

Jembatan yang Menyatukan
Film Rabbit Proff Fence yang menceritakan perjalanan heroik tiga orang anak percampuran Aborigin dan orang kulit putih (setengah kasta) dari tempat pengasuhan di Moore River bisa ditarik sebuah garis lurus dengan kisah Penyingkiran kanak-kanak Yesus ke Mesir untuk menghindari kejaran pasukan Herodes. Herodes yang meraja saat kelahiran Yesus mengetahui bahwa “raja baru” lahir di Betlehem dari orang-orang majus. Hal ini melahirkan sebuah ketakutan bahwa “raja baru” itu akan menggulingkan pemerintahannya yang telah dikuasainya selama ini atau paling tidak merusak image dan wibawanya sebagai seorang raja. Ketakutan seorang raja ini ternyata berdampak luas dan menimbulkan ketakutan-ketakutan baru bagi rakyat Betlehem yang sebetulnya tidak memiliki kesalahan sedikit pun yakni gelombang pembunuhan semua anak dibawah umur dua tahun.
Dalam film Rabbit Proff Fence, ketakutan yang berbeda pun menyebabkan penderitaan bagi keluarga-keluarga setengah kasta di Australia. Ketakutan akan rusaknya image orang-orang kulit putih yang mereka anggap lebih beradab dibandingkan orang-orang aborigin, melatarbelakangi inisiatif Pemerintah untuk menampung orang-orang setengah kasta dan mendidiknya secara khusus sesuai adat barat. Kaum setengah kasta dipisahkan dari keluarga Aboriginnya dan dipaksa untuk melahap semua etika dan aturan orang barat tanpa mempertimbangkan rusaknya pertalian keluarga yang telah dibangun dalam budaya Aborigin.
Ketakutan yang berlebihan kadang bisa membuat orang menjadi buta dan tidak mampu berpikir jernih bahkan melakukan tindakan-tindakan yang bodoh. Herodes takut bayi Yesus yang lemah akan melakukan kudeta dalam pemerintahannya. Padahal bila dilihat secara akal sehat, tidaklah mungkin seorang bayi bisa mempunyai kekuatan yang besar untuk melawan orang kuat semacam Herodes sebab untuk melakukan perbuatan- perbuatan kecil misalnya makan saja seorang bayi masih butuh bantuan orang lain. Ketakutan yang menggunung ditambah kekuatan dan kekuasaan yang besar bisa menjadi sebuah energi merusak yang sangat besar. Bayi-bayi Betlehem yang tidak berdosa harus juga merasakan ketakutan Herodes dengan mati di awal-awal kehidupannya.
Niat baik yang dilakukan pemerintah Australia untuk merawat orang-orang setengah kasta sehingga ketakutan-ketakutan yang ada di benak mereka akan sirna justru menjadi bumerang yang bisa melukai warganya. Dengan mencabut seorang anak dari keluarganya dan memaksanya melahap dogma-dogma barat, pemerintah Australia tidak berbeda dengan Herodes yang sama-sama dikalahkan oleh ketakutannya meskipun gambaran kekalahan itu tidak bisa dilihat secara langsung.Di satu sisi memang terasa kekuatan manusia yang menang, tapi di sisi lain justru hal ini menggambarkan sebuah kekalahan telak seorang penguasa terhadap ketakutannya sendiri.
Baik Moly maupun Yusuf, kedua-duanya hanyalah rakyat biasa yang tidak punya kekuasaan apa-apa. Kekuasaan terletak pada Raja Herodes ataupun Pemerintah Australia. Segala hal yang diputuskan oleh para penguasa bisa sangat berpengaruh terhadap kehidupan orang-orang kecil seperti Moly maupun Yusuf. Namun, dari dua kisah yang berbeda tersebut, kita bisa belajar bahwa dengan orang-orang kecil yang kurang diperhitungkan dapat lolos dari sebuah kekuasaan yang sewenang-wenang.
Kedua kisah tersebut sama-sama dimulai dengan sebuah keputusan dari pilihan-pilihan. Yusuf memutuskan untuk mengungsikan bayi Yesus ke Mesir setelah Malaikat Tuhan menampakkan diri dalam mimpinya. Sedangkan Moly memilih sebuah pilihan yang sangat beresiko yakni melarikan diri dari More river. Menurutku kedua-duanya berani memilih hal yang dianggap benar. Dan sekali mereka memilih, mereka tidak pernah akan kembali meragukan atas pilihan-pilihannya. Dibutuhkan mental baja untuk bisa mempertahankan segala sesuatu yang bagi kita adalah sebuah kebenaran dan jangan lupa selalu sertakan Tuhan dalam setiap pilihan yang kita ambil agar sesuai dengan kehendaknya.
Analogi lain yang bisa diambil dari dua kisah tersebut adalah baik Moly dan Keluarga kudus sama-sama melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk menyelamatkan diri. Perjalanan ini bisa disimbolkan sebagai sebuah perjuangan panjang untuk mencapai sebuah tujuan. Yusuf dan sekeluarga berusaha menyelamatkan bayi Yesus yang masih lemah dari pembunuhan di Betlehem. Sedangkan dalam dalam film Rabbit Proff Fence, Moly dan saudaranya berusaha kembali kepada keluarganya di desa Jigalong dari tempat penampungan para kaum setengah kasta.
Kedua cerita memang berakhir bahagia. Yesus dapat selamat dari cengkraman Herodes dan Moly bisa bertemu lagi dengan kedua orang tuanya. Namun, kedua happy ending ini tidak akan pernah terjadi jika tidak diawali dengan sebuah perjuangan. Tuhan berinisiatif menyelamatkan manusia dan yang dibutuhkan manusia adalah sebuah kejelian untuk membaca tanda-tanda yang diberikan Tuhan. Yusuf bisa jeli melihat dibimbing Tuhan dengan mimpinya sehingga bayi Yesus yang lemah bisa selamat. Moli pun bisa mengikuti insting dan Rabbit Proff Fence sebagai pedoman perjalanannya. Bila dirasa-rasa ada sebuah keterkaitan diantara kedua kisah ini. Keduanya diselamatkan dengan sebuah kekuatan di luar batas kemampuan manusia. Meski awalnya banyak sekali hambatan dan penderitaan yang merintanginya. Kekuatan adikodrati itu saya yakini berasal dari Tuhan.


Refleksi dan Kesimpulan
Dari kedua analogi kisah berbeda ini, sebetulnya kita diajak untuk menganalogikan kedua kisah ini dengan kehidupan kita karena pada dasarnya kehidupan adalah perwujudan nyata dari perjuangan. Perjuangan yang berat untuk mencapai suatu tujuan sudah dilakukan dari tokoh dalam cerita tersebut dan kini kita ditantang untuk berjuang memeperjuangkan tujuan hidup kita. Hal yang perlu diingat adalah jangan biarkan diri anda berjuang sendirian sebab Tuhan pasti akan selalu menyertai dan memberkati sekalipun anda tidak menyadari hal itu. Kedua tokoh dari kisah yang berbeda di atas telah mengalami bagaimana Tuhan mendampingi perjuangannya. Percayalah Tuhan selalu menopang kita. So, jangan takut untuk berjuang bersama Kristus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar