Kamis, 08 September 2011

The Serendipity

Sebuah Refleksi Singkat Proses Formatio di Seminari Mertoyudan


Preambule Singkat
Layaknya sebuah bangunan yang sedang dibangun, saya merasa diriku sedang dibangun di dalam formatio di seminari ini. Enggak terasa ya…, udah hampir empat tahun saya menjalani kehidupan di seminari ini dan kini saya sudah berada di detik-detik akhir kehidupanku di seminari. Rasanya terlalu banyak hal yang berharga yang saya dapatkan di seminari ini untuk saya lewatkan begitu saja. Maka, dari tulisan kecil ini, saya mencoba menggali kembali berbagai hal yang saya dapatkan di seminari ini.

Seminari, Kebetulan dalam Rencana Tuhan
Rasanya terlalu banyak hal kebetulan yang membahagiakan di dalam hidupku ini (serendipity). Salah satunya adalah proses formatio yang telah saya lalui di seminari ini. Mungkin, agak naif kalau saya mengatakan hal ini adalah sebuah kebetulan. Tapi, saya rasa hal ini adalah sebuah kebetulan yang sangat baik bagiku jika saya melihat kembali sejarah hidupku mengapa saya bisa sampai terdampar di seminari ini.
Kehidupanku di seminari ini rasanya adalah sebuah proses pembalikkan kehidupan. Bila saya menilik kembali kehidupanku sebelum masuk seminari, rasanya hidupku jauh diubah melalui berbagai formatio yang saya dapatkan di seminari ini. Saya yakin hal ini bukanlah sebuah kebetulan belaka. Saya percaya Tuhanlah di belakang itu semua. Semua kebetulan yang saya sadari itu tidak lain adalah bagian rencana Tuhan. Saya imani Tuhan selalu memberikan rencana yang terbaik bagiku dan saya harus selalu mensyukurinya. Memang sih, kadang Kebaikan Tuhan itu tidak selalu saya sadari karena kadang saya kurang menyertakan Tuhan di dalam hidupku dan terlalu terfokus pada diriku atau masalahku.

Tuhan, Sang Arsitek Agungku
Bagiku, Tuhan adalah Arsitek yang agung. Ia hendak membangun diriku menjadi pribadi yang baik. Ia mengenal aku bahkan melebihi aku mengenal diriku sendiri. Memang, di dalam diriku masih banyak kelemahan yang terasa menghambat. Tapi, saya punya keyakinan, Tuhan menciptakan aku baik adanya. Maka, saya ingin sekali mempersembahkan hidupku untuk selalu dekat dan menjadi abdi hidupku.
Memang sih, awalnya saya merasa saya adalah orang yang gagal di seminari ini karena saya tidak melanjutkan proses imamatku ke jenjang berikutnya. Untunglah, Seminari masih bermurah hati menyediakan waktu dan perhatiannya padaku sehingga saya masih bisa menikmati berbagai hal yang rasanya sudah bukan hakku lagi dan saya harus mensyukuri hal ini. Rasanya sudah terlalu banyak hal baik yang telah diberikan padaku. Seminari telah membantuku memutuskan panggilan hidupku dan menyadarkan aku atas segala hal yang ada di belakangnya. Saya yakin Tuhan berkarya dibalik semua hal itu dan saya rasa hal itu akan baik bagiku.

Refleksi, Material Berharga bagi Kehidupanku
Saya rasa material yang diberikan di seminari ini adalah material yang terbaik dan dipilihkan secara khusus, tidak sekedar asal comot tapi benar-benar material yang benar-benar berkualitas bagi kehidupan seseorang. Sedikit banyak, saya sudah dapat menimati dampak dari formatio di seminari ini. Salah satu hal yang paling menonjol dari formatio yang berdampak bagiku adalah refleksi.
Refleksi banyak membentukku. Refleksi membantuku menyadari diriku dan
mengenal diriku secara lebih dalam. Refleksi juga mendorong aku untuk selalu memaknai hidup secara lebih positif sekalipun dalam peristiwa-peristiwa yang buruk sehingga meskipun hal buruk terjadi padaku, saya masih bisa melihat hal positif. Hal positif inilah yang memberiku kekuatan untuk menjalani kehidupan selanjutnya
Refleksi mengajakku berduc in altum. Ia mengajari aku bagaimana caranya mamaknai kehidupan sehingga hari-hari yang saya lalui dapat saya petik makna dan makna itu adalah pelajaran yang berharga bagi hidupku. Sejak saya mengenal refleksi, saya jadi lebih bisa melihat hidup sebagai sebuah proses belajar yang terus menerus.
Refleksi membantuku mengolah emosiku. Terus terang, emosiku sangat labil. Bila tidak hati-hati, emosi ini bisa jadi menghambat kehidupanku. Pernah suatu ketika saya merasa benar-benar lumpuh karena saya tidak mampu mengolah emosi. Melalui refleksi inilah, saya mencoba tenang dan mengatur emosiku.
Selain itu, refleksi mengajak saya untuk selalu menyadari banyak hal baik ada dan terjadi di dalam diri saya. Oleh karena itu, saya mencoba selalu bersyukur. Saya percaya, orang yang bersyukur itu adalah orang yang bahagia karena ia akan melihat hidup itu sebagai rahmat. Rahmat itu akan menunjukan peran Tuhan dalam hidup saya sehingga saya tidak perlu khawatir atas apa yang akan terjadi pada diriku karena Tuhan adalah jaminan hidupku.
Refleksi adalah sebuah instrumen yang khas yang dimiliki seminari untuk membantu para seminaris menjadikan hidupnya lebih berisi. Dari refleksi yang saya lakukan, sedikit banyak saya bisa melihat sesuatu secara lebih menyeluruh sehingga membantuku untuk mampu memutuskan berbagai hal di dalam hidupku. Saya harap dan ingin tradisi refleksi menjadi bagian dari kehidupanku selalu sehingga selalu memperkaya diriku di dalam setiap langkah yang kulakukan

Tuhan Tidak Bekerja Sendirian
Ya…, Tuhan tidaklah bekerja sendirian dalam membentukku. Di seminari ini, saya merasakan Tuhan hadir membentukku melalui orang-orang yang saya temui di sekitarku. Para staff khususnya staff kepamongan memberiku saya berbagai hal baru yang saya lihat penting bagi hidupku. Mereka memberiku perhatian secara total dan mau menegurku ketika saya melakukan sebuah kesalahan. Kesalahan tidak membuahkan hukuman melainkan pengertian.
Saya kira orang tua punya andil yang sangat besar dalam membentuk diriku. Mereka selalu mendukungku dan mencintaiku. Memang sih, kadang saya agak tidak cocok dengan orang tua, tapi hal itu bukanlah sebuah masalah yang besar karena toh di antara perbedaan yang ada itu justru memberikan dinamika yang unik dalam perjalanan hidupku.
Para guru juga saya rasakan sebagai alat Tuhan yang disediakan untuk membentuk diriku. Para guru mengajak saya berpikir secara ilmiah sekaligus mampu merefleksikan segala hal yang telah dipelajari. Jadi, pelajaran yang ada tidak sekedar menjadi teori belaka melainkan bisa diaplikasikan di dalam kehidupan meskipun dalam bentuk yang aslinya misalnya saja sebagai analogi. Di dalam kelas, saya banyak mendapatkan inspirasi yang bisa saya manfaatkan secara lebih jauh. Terus terang, di dalam diriku ada sebuah kekaguman pada guru-guru yang ada di seminari karena mereka total mendampingiku dan selalu sabar mengajariku.
Selain itu, teman-teman sekomunitas baik bawil, kelas, angkatan maupun seminari pun turut mengambil andil yang cukup besar dalam pembentukan diriku. Ya…, rasanya belum pernah saya memiliki teman yang sedekat dan seakrab yang ada di seminari. Saya merasakan seringkali saya dikuatkan dan diteguhkan oleh teman-temanku. Mereka pun bisa idajak berbagi pengalaman dan membantuku menemukan jawaban atas masalah yang saya alami.
Mungkin masih banyak orang yang turut berperan dibelakangku dan selalu membentukku. Mereka adalah orang yang setia memberi perhatian pada proses pembangunan diriku. Tangan Tuhan bekerja melalui mereka dan saya kira saya pun sudah seharusnya saya mensyukurinya.

Hal Kecil Bermakna Besar
Berbagai aktivitas kecil dan sederhana membentukku meskipun kadang hal itu tidak saya sadari. Salah satu contohnya adalah pembuatan buku keuangan. Buku keuangan awalnya terasa sebagai beban dan terasa begitu merepotkan. Namun, setelah saya menyadarinya, saya jadi mengerti buku keuangan membantuku mengatur keuanganku. Mengatur tidaklah sekedar mengatur tapi membantuku menempatkan segala sesuatu secara proporsional. Saya jadi bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan belaka. Dari buku keuanganlah saya bisa mengetahui prioritas dan prioritas itulah yang menuntunku untuk bertindak. Buku keuangan pula membentukku untuk selalu teliti dan berlaku jujur dalam mengelola keuangan.
Begitu pula dengan opera yang setiap hari saya lakukan di seminari. Opera mengajakku menjadi pribadi yang bertanggungjawab atas peran dan tugasku. Saya diajak untuk selalu total dalam mengerjakan berbagai tugas dan membantuku peka serta inisiatif. Dari sinilah, saya menggali banyak hal khususnya mengenai kepedulian.
Misa harian sekalipun kadang diisi dengan kantukan membantuku hidup dekat dengan Tuhan. Memang sih, dulu pernah sempat ada semacam kejenuhan di dalam misa karena bagaimanapun hal yang rutin bisa mengurangi penghayatan. Tapi, saya coba lihat misa secara lebih dalam lagi. Di sanalah saya bisa berjumpa dengan Tuhan melalui sabda dan kehadirannya di dalam ekaristi. Saya merasakan misa harian memberiku harapan pada Tuhan dan membantuku untuk menyerahkan segala hal yang saya miliki dan saya dapatkan sepenuhnya untuk Tuhan.

Karat yang Menggerogoti Rangka Betonku
Kadang, hidup formatioku di sini tidak selalu berjalan dengan mulus. Beberapa hambatan saya saya temui dan beberapa seringkali tidak saya sadari. Terus terang, ada beberapa poin yang masih menghambat diriku salah satunya adalah sifat keras kepala saya. Ya…, dalam beberapa hal kadang saya suka sekali berkeras kepala. Hal ini membuat saya kadang sulit dibentuk. Apa yang diberikan kepadaku di dalam proses formatio ini kadang tidak selalu sejalan dengan jalan pikiranku. Memang sih, saya sadari apa yang diberikan dalam proses formatioku adalah benar tapi sifatku yang keras kepala kadang begitu mendominasi. Mungkin, sebagian besar pelanggaran yang saya lakukan di seminari ini tidak lepas dari hal seperti ini.
Selain itu, ada semacam kecenderungan di dalam diriku untuk meremehkan. Saya baru menyadari hal ini di kelas XII. Terus terang, dulu saya tidak pernah merasakan hal seperti ini. Sepertinya, sifat seperti ini akibat dari pengaruh orang-orang yang ada di sekitarku. Kecenderunganku untuk meremehkan itu muncul dan nampak ketika saya sedang belajar. Kadang saya terlalu menyepelekan belajar sehingga tidak jarang saya hanya mendapatkan nilai yang kurang dari yang saya harapkan. Sifat ini rasanya malah menjadi semacam bumerang yang malah menghancurkan diriku. Terus terang, kadang saya menyesali atas hal yang terjadi akibat sifat saya ini. Namun, penyesalan ini hanya sebatas penyesalan belaka tanpa ada tindak lanjut. Sepertinya, mau tidak mau saya harus terus belajar lebih keras untuk bisa mengendalikan diriku sendiri. Mungkin, ada baiknya jika mulai sekarang saya sedikit banyak belajar berkomitmen.
Sifatku yang menghambat yang lain adalah mentalku yang mudah down. Ya…, hal ini menyebabkan saya mudah berputus asa. Mungkin, hal ini terjadi karena saya terlalu mementingkan hasil bukan proses. Hasil yang buruk seharusnya bukan menjadi alasan orang untuk putus asa. Tetapi sebaliknya, hasil yang buruk itu ditelisik lebih dalam apa yang menjadi penyebabnya. Seharusnya, saya menikmati setiap proses yang saya lalui tapi karena saya mungkin tidak begitu sabar, saya jadi melewatkan begitu saja proses yang ada. Mungkin, ada baiknya saya harus sedikit agak tenang. Ketidak tenangan yang saya alami bisa jadi membuatku sulit menemukan inti masalah yang saya hadapi.
Satu hal yang tidak kalah kronis adalah mudahnya saya tenggelam di dalam kekhawatiran. Kekhawatiran yang berlebihan ini memunculkan diriku yang mudah sekali panik dan kurang bisa menikmati apa yang saya miliki. Idealisku mungkin terlampau jauh sehingga kadang saya khawatir bila hal itu tidak terwujud. Meditasi sedikit banyak membantuku mengurangi berbagai masalah yang ada di atas. Dalam meditasi saya mencoba menenangkan diriku dan melepas berbagai beban yang ada di kepalaku. Setelah itu, kucoba ajak Tuhan hadir dan aku berusaha menyadarinya. Di dalam ketenangan, saya rasakan kasih Tuhan begitu besar bahkan melebihi berbagai beban yang saya bawa di dalam hidupku. Saya sedikit banyak mulai menyadari bahwa di dalam hidup ini saya tidak berjuang seorang diri saja tetapi selalu ada Tuhan yang hadir menyertai diriku. Sudah semestinya, saya tidak perlu takut akan apapun. Toh Tuhan mengerti akan segala hal yang dihadapi oleh manusia. Kucoba pasrahkan diri dan melepaskannya pada Tuhan. Kutahu Tuhan pasti buka jalan.

Dukungan yang Melancarkan Prosesku
Selama saya berproses di seminari ini, saya banyak sekali menemukan kemudahan sehingga mendukungku untuk terus berproses. Paling enggak, fasilitas yang cukup lengkap seperti perpustakaan membantuku memuaskan hasrat membacaku. Orang-orang di sekitarku pun mau terbuka denganku sehingga saya bisa belajar banyak dari mereka. Selain itu, kecenderungan untuk proaktif cukup banyak membantuku untuk menemukan hal-hal baru.
Selain itu, saya merasa semangat yang ada di dalam diriku cukup banyak mengarahkanku untuk bisa mengerjakan sesuatu secara total. Setiap hari, kucoba melakukan yang terbaik dari diriku. Toh Tuhan telah memberikan banyak hal yang baik maka saya perlu membalasnya.
Kondisi seminari yang kondusif memungkinkanku untuk bisa mengembangkan dan menjadikan diriku menjadi jauh lebih baik. Saya kira kondisi seperti ini sangatlah mendukungku. Ya…, memang awalnya memang kondisi itu memaksaku untuk bisa ikuti ritme yang ada tapi lama-lama saya semakin bisa menikmatinya. Saya rasa paksaan yang ada berupa kondisi yang seperti itu merupakan katalisator untuk mempercepat diriku untuk berubah dan menjadi baik.

Wujudku Kini
Terus terang, saya tidak terlalu berani menyimpulkan diriku seprti apa sekarang. Namun, saya mencoba melihat kembali diriku secara obyektif sesuai keadaanku sekarang. Mungkin, saya bisa diandaikan sebuah rumah yang masih belum jadi namun sudah bisa berdiri di atas pondasi.Saya analogikan pondasi itu adalah segala hal yang saya dapatkan di seminari. Pondasi yang baik akan memberikan kekuatan bangunan yang baik pula. Pondasi adalah dasar dari rumah itu sendiri. Ia adalah peletak dasar rumah. Tanpa pondasi yang baik, tidak akan pernah ada rumah yang bisa berdiri kokoh.
Rasanya, saya lebih cocok mengandaikan diriku sebagai sebuah rumah tumbuh. Maksudnya, rumah itu selalu bertumbuh seiring kemampuan sang pemilik rumah. Andai pemilik rumah itu awalnya adalah seorang karyawan biasa. Dengan gajinya ia hanya bisa membangun rumah sederhana. Namun, rumah sederhana itu sedikit demi sedikit terus tumbuh menjadi bangunan yang indah dan kokoh. Saya kira hidup itu adalah sebuah proses penyempurnaan. Rumah yang sederhana itu mengalami proses penyempurnaan sehingga terciptalah sebuah rumah yang indah. Saya rasa rumah semacam ini lebih dinamis dan mampu menyesuaikan keadaan yang ada sesuai dengan keinginan pemiliknya.
Menurutku, sampai saat ini, dengan modal yang saya terima di seminari, saya rasanya cukup mampu untuk siap hidup di alam yang sederhana. Meskipun begitu, saya masih belum puas dengan apa yang saya capai sekarang. Semoga saya proses yang saya jalani sekarang mampu saya teruskan di luar sana sehingga saya semakin menjadi pribadi yang matang dan berkualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar